Kebijakan moneter sebagai salah satu bagian
dari kebijakan ekonomi makro pada dasarnya merupakan kebijakan pengendalian
jumlah uang beredar agar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam suatu
sistem perekonomian. Melalui pengendalian jumlah uang beredar tersebut
diharapkan dapat dicapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi tanpa menyebabkan
terjadinya inflasi akibat bertambahnya jumlah uang yang beredar yang mendorong
permintaan barang-barang atau disebut demand pull inflation.
Sasaran kebijakan moneter yang ingin dicapai
oleh otoritas moneter di Indonesia pada prinsipnya adalah pertumbuhan ekonomi,
stabilitas harga dan tingkat bunga, dan keseimbangan neraca pembayaran serta
untuk mencapai pemenuhan kesempatan kerja. Perencanaan moneter tersebut dibuat
Bank Indonesia dalam bentuk program moneter yang pada dasarnya merupakan
perencanaan jumlah uang yang akan beredar pada periode tertentu atas dasar
asumsi-asumsi tertentu. Program moneter tersebut memberikan kerangka dasar
mengenai rencana yang perlu dicapai oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas
pengendalian moneternya. Selanjutnya berdasarkan program moneter tersebut
dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan besar-besaran
moneter yang dijadikan target. Bank Indonesia secara rutin mengeluarkan
Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia baik secara mingguan maupun bulanan
disamping Laporan Tahunan Bank Indonesia. Laporan statistik tersebut memberikan
informasi mengenai posisi antara lain sebagai berikut:
a) Neraca
otoritas moneter
b) Jumlah
uang beredar
c) Neraca
gabungan perbankan
d) Posisi
likuidasi perbankan
e) Kegiatan
mobilisasi dana masyarakat
f) Posisi
kredit perbankan
g) Suku
bunga
h) Pasar
uang dan modal
i) Keuangan
pemerintah
j) Neraca
pembayaran
k) Produk
domestik bruto
l) Jumlah
penanaman modal dalam dan luar negeri
m) Indeks harga
n) Indikator
ekonomi dan moneter internasional
Selanjutnya dari kegiatan pemantauan dapat
diketahui apaka target besar-besaran moneter tersebut dapat dicapai,
kurang dari yang ditargetkan atau bahkan telah melampaui.
Konsep Uang Beredar dan Pengendaliannya
Pengertian uang beredar yang umum digunakan
di Indonesia dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu uang beredar dalam arti
sempit atau disebut juga narrow money (M1) dan uang beredar dalam
arti luas atau broad money (M2). M1 terdiri atas uang kartal
yang beredar di masyarakat (tidak termasuk uang kartal yang ada di bank)
ditambah dengan uang giral. M2 merupakan penjumlahan dari M1 ditambah
tabungan dan deposito berjangka atau disebut juga uang kuasi (quasi money).
Strategi pengendalian uang beredar dirumuskan
berdasarkan penyesuaian instrumen kebijakan moneter antara lain operasi pasar
terbuka, penyesuaian ketentuan likuiditas wajib minimum (reserve
requirement), fasilitas diskonto. Di negara-negara industri, pengendalian uang beredar
dilakukan dengan menggunakan besaran moneter seperti jumlah uang beredar atau
tingkat bunga jangka panjang sebagai target antara (intermediate target).
Permasalahan yang krusial atas penggunaan
strategi pengendalian moneter antara lain adalah memilih besaran moneter yang
ada, target antara mana yang bisa digunakan dalam pengendalian moneter dimasa
yang akan datang dalam situasi yang penuh ketidak pastian. Agregat atau
besaran-besaran moneter yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk dipilih
sebagai target antara dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu:
a) Jumlah uang
beredar, kredit perbankan, uang primer (likuiditas wajib perbankan dan
digolongkan sebagai M0), deposito atau disebut monetary target, dsb
b) Penghasilan
yang diperoleh dari agregat moneter seperti tingkat uang pinjaman bank atau
surat berharga pemerintah.
Sementara itu, di Indonesia sejak
digunakannya target antara dalam pengendalian moneter maka variabel agregat
moneter yang digunakan adalah jumlah uang beredar meliputi uang primer (M0), M1 dan
M2. Alasan kenapa jumlah uang beredar lebih disukai dari suku bunga jangka
panjang sebagai target atara didasarkan pada alasan historis.
Kebijakan Pengendalian Uang Beredar
Strategi pengendalian moneter sebelum dan
setelah era deregulasi (1983) pada prinsipnya tidak bberbeda dengan cara
pengendalian sebelum deregulasi dalam arti bahwa kebijakan pengendalian moneter
didasarkan pada penggunaan target moneter sebagai target antara. Namun diantara
kedua cara pengendalian tersebut terdapat beberapa perbedaan dalam
pelaksanaannya meliputi antara lain:
Target moneter
Dalam kurun waktu sebelum deregulasi 1983,
target utama yang digunakan adalah broad money yaitu jumlah uang
beredar dalam arti luas (M2). Sementara setelah deregulasi, target antara yang
digunakan tidak hanya M2 tapi juga narrow money yaitu uang
beredar dalam arti sempit (M1).
Target operasional
suatu besaran yang memiliki hubungan dengan
target antara. Sebelum deregulasi target operasional yang digunakan adalah
aktiva domestik netto perbankan atau sering juga disebut total kredit
perbankan. Sementara setelah deregulasi target operasional yang digunakan
adalah agregat cadangan atau tingkat bunga jangka pendek.
Pencapaian target operasional
Sebelum deregulasi pengendalian moneter
dilakukan secara langsung di mana target operasional ditentukan secara
administratif. Instrumen kebijakan moneter yang digunakan meliputi pagu atau ceiling
kredit, pagu tingkat buga, alokasi kredit terutama pada sektor-sektor yang
berprioritas tinggi.
Instrumen Kebijakan Moneter
Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang
diawali dari krisis rupiah yang terjadi pada pertengahan 1997 kemudian diikuti
dengan krisis moneter dan segera menjadi krisis ekonomi sejak akhir 1997,
perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir apabila diamati terlihat
semakin meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan ekonomi makro. Indikasi
tersebut dapat tercermin dari semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia
dengan perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin meningkatnya aliran
masuk modal asing.
Kegiatan ekonomi Indonesia dalam tahun 1996
juga masih cukup kuat. Masih kuatnya kegiatan ekonomi domestik ini juga akan
mendorong tetap tingginya permintaan masyarakat terhadap likuiditas. Keadaan
ini apabila tidak dikendalikan secara hati-hati akan menghasilkan pertumbuhan
besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang apabila dibiarkan akan menyebabkan
tekanan-tekanan pada harga dan neraca pembayaran.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks
pengendalian moneter tidak cukup dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen
saja. Berbagai instrumen kebijakan moneter yang digunakan Bank Indonesia untuk
mempengaruhi besar-besaran moneter antara lain sebagai berikut:
Operasi pasar terbuka
Ini dilakukan melalui penjualan dan pembelian
surat berharga SBI dan SBPU. Untuk lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka
ini, Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan
menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing
instrumen sehingga saat ini dikenal SBI repo dan SBPU repo.
Fasilitas diskonto
Fasilitas diskonto ini disediakan bagi
bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari,
khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan
pendananya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara penjualan surat berharga
repo atau penjaminan surat berharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat
dipergunakan adalah SBI dan atau SBPU yang diendos oleh bank lain.
Giro Wajib Minimum (GWM)
Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988 Bank
Indonesia menggunakan GWM untuk mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang
masih tinggi yaitu dengan menetapkan GWM menjadi 3% pada Februari 1996
(ketentuan likuiditas wajib minimum sebelumnya menurut Pakto 1988 adalah 2%).
GWM pada dasarnya adalah sejumlah minimum dana yang harus selalu tersedia pada
saldo giro setiap bank pada Bank Indonesia. Keharusan menyediakan sejumlah
minimum dana ini juga disebut likuiditas wajib minimum (statutory reserve
requirement) yang saat ini sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang dihimpun
berlaku sejak April 1997.
Persuasi moral
Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan meminta atau mengimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi
makro ekonomi maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana
ekspansi kredit yang realitas. Kebijakan persuasi moral atau moral suasion ini
pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan
kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme
pasar.
Kebijakan Moneter dan Perbankan
Perkembangan moneter dan perbankan di
Indonesia sejak orde baru pada dasarnya dapat digolongkan dalam 3 periode,
yaitu:
1. Periode
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi
Kebijakan moneter dan perbankan pada periode
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi di awal orde baru pada dasarnya untuk
mengatasi kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan saat itu. meskipun tidak
ada angka inflasi yang pasti dan disepakati namun berbagai pengamat
memperkirakan tingkat inflasi berkisar 650% pertahun, suatu angka yang fantastis
dibandingkan dengan kondisi perekonomian negara-negara tetangga saat itu. Untuk
menghambat laju inflasi tersebut pemerintah mengupayakan pengendalian tingkat
inflasi kebatas yang lebih aman, meningkatkan ekspor, dan mencukupkan sandang
bagi masyarakat. Dalam rangka mengendalikan inflasi diambil dua kebijakan
pokok. Pertama mengubah kebijakan anggaran defisit menjadi anggaran berimbang.
Kedua, menjalankan kebijakan kredit yang sangat ketat dan kualitatif. Pada
periode ini pula pemerintah, sebagai bagian dari penataan kembali ekonomi,
dilakukan pula penataan sistem perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No.
14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 Tahun 1968
tentang Bank Indonesia.
2. Periode
saat ekonomi ditunjang sektor minyak
Kebijakan pemerintah dalam upaya mobilisasi
dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan disertai dengan
penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang berbunga rendah
memperbesar kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit. Penyediaan KLBI dalam
jumlah besar akibat besarnya penerimaan negara dari hasil ekspor minyak pada
pertengahan dekade 1970-an yang dikenal dengan istilah “boom minyak”, mendorong
tingginya kembali tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh pada periode
boom minyak ini antara lain:
a) Menetapkan
pagu kredit (credit ceiling) dan aktiva lainnya.
b) Menaikkan
bunga kredit.
c) Menaikkan
bunga deposito.
d) Menaikkan
ketentuan cadangan likuiditas wajib.
3. Periode deregulasi
perbankan
Memasuki dekade 1980-an ekonomi Indonesia
mengalami resesi sebagai da,pak dari resesi dunia. Produk domestik bruto turun
drastis menjadi hanya 2,2% dibandingkan rata-rata 7,7% pada tahun-tahun
sebelumnya, bahkan pernah mencapai 9,9% pada tahun 1980. Sementara itu, neraca
pembayaran terus meburuk dan bahkan terjadi defisit sebesar USD 1,930 juta pada
tahun 1982. Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang semakin memburuk tersebut,
pemerintah melakukan perubahan kebijakan di bidang ekonomi termasuk moneter dan
perbankan. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah pada saat itu antara
lain:
a) Penyesuaian
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan Maret 1983 dari
Rp 700 menjadi Rp 970.
b) Penjadwalan
ulang proyek-proyek yang menggunakan devisa dalam jumlah besar.
c) Melakukan
deregulasi sektor moneter dan perbankan dengan berbagai jenis paket kebijakan.
Pengaturan Bank Dengan Prinsip Kehati-hatian (Prudent
Banking)
Struktur pasar keuangan (financial
markets) yang sehat ditunjang oleh pelaku pasar yang sehat pula akan
membantu berbagai langkah stabilitas ekonomi mencapai sasarannya. Oleh karena
itu dibutuhkan pelaku pasar keuangan yang mampu menangkap sinyal-sinyak
indikatif yang diisyaratkan otoritas perusahaan. Sejalan dengan itu Bank
Indonesia harus terus berupaya meningkatkan profesionalisme pelaku dalam sektor
perbankan agar dapat menciptakan bankir yang tangguh dan profesional. Melihat
jumlah kantor bank yang semakin bertambah, Bank Indonesia jelas memiliki
keterbatasan dalam melakukan pengawasan. Untuk itu Bank Indonesia mengembangkan
pola pembinaan dan pengawasan yang mengarah pada industri perbankan yang mampu
mengatur sendiri dalam menerapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian.
Penilaian Aktiva Produktif
Aktiva produktif atau earning assets perbankan
yang dilakukan penilaian adalah mengenai kualitasnya yang meliputi penanaman
dana, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing, dalam bentuk kredit dan
surat berharga. Dalam rangka melakukan monitoring terhadap kinerja kegiatan
bank terutama disisi aktivanya, berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 menetapkan suatu
ketentuan yang berkaitan dengan penilaian terhadap penanaman dana bank dalam
bentuk aktiva produktif.
Likuidasi Bank
Likuidasi adalah tindakan pemberesan berupa
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan
hukum bank. Likuidasi bank dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau
penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank
kepada para kreditur dan hasil pencairan dan atau penagihan tersebut.
Ketentuan likuidasi bank diatur dalam Pasal
37 UU No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan bahwa dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dan atau membahayakan sistem
perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan beberapa tindakan yang dipandang
perlu.
Suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank
Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas serta
pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan
prinsip-prinsip perbankan yang sehat. Sedangkan bank yang diperkirakan
membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat kesulitan yang dialami
dalam melakukan kegiatan usaha bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya
kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai
kepada bank-bank lain.
Kondisi Perbankan Era Krisis Moneter
Tahun 1997/1998 merupakan tahun yang terberat
dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh
krisis nilai tukar yang terjadi pada tahun 1997. Sejak itu, kinerja perekonomian
Indonesia menurun tajam dan berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di
berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya
keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri
yang cukup besar. Krisis tersebut berkembang semakin parah karena terdapatnya
berbagai kelemahan mendasar di dalam perekonomian nasional terutama di tingkat
mikro.
Untuk mengatasi krisis yang semakin dalam,
pemerintah telah menempuh berbagai upaya. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut
tidak begitu menunjukkan hasilnya karena adanya krisis kepercayaan terhadap
kemampuan pengelolaan dan prospek perekonomian semakin melemah. Dengan semakin
parahnya krisis yang terjadi, kegiatan intermediasi di sektor keuangan,
terutama perbankan, terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai kegiatan
investasi dan produksi mengalami berbagai hambatan.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga
tercermin pada kerapuhan (fragility) yang terdapat dalam sektor
keuangan, khususnya perbankan. Sebagian dari kerapuhan tersebut terkait dengan
kondisi makroekonomi yang kurang stabil terutama berupa gejolak nilai tukar
rupiah dan tingginya suku bunga. Ketidak stabilan makroekonomi dan respons
kebijakan yang diambil pemerintah menyebabkan bank sangat sulit melakukan
penilaian yang akurat megenai risiko kredit dan risiko pasar.
Besarnya tekanan arus modal keluar (capital
outflow) yang dipicu oleh krisis keuangan di negara-negara tetangga,
antara lain misalnya Thailand, telah menyebabkan merosotnya nilai tukar rupiah.
Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut sangat dipengaruhi oleh permintaan dolar
yang semakin besar untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri yang segera jatuh
tempo, membiayai impor, serta tujuan-tujuan spekulatif terhadap rupiah. Untuk
mengatasi krisis tersebut Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah
antara lain melebarkan rentang intervensi nilai tukar rupiah terhadap dollar
dari 8% menjadi 12% yang disertai intervensi baik di pasar forward maupun spot.
Sistem nilai tukar mengambang bebas diterapkan dan intervensi di pasar valuta
asing ditingkatkan.
Sebagai langkah awal dalam rangka penyehatan
di bidang perbankan, pada tanggal 1 November 1997, setelah dilakukan penelitian
dan pemeriksaan yang cermat oleh Bank Indonesia pemerintah kemudian mencabut
izin usaha 16 bank yang dinyatakan insolvent. Upaya ini semula dimaksudkan
untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan, telah ditanggapi secara negatiif
oleh masyarakat berupa penarikan dana secara besar-besaran dan pemindahan dana
dari bank yang dianggap kurang sehat ke bank yang sehat. Perkembangan ini
menyebabkan sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga banyak bank
yang melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum. Sejumlah bank bahkan mengalami
saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Untuk menghindari
terjadinya dampak berantai (contageon effect) terhadap bank-bank lain
yang pada gilirannya menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap sistem
perbankan secara keseluruhan (systematic risk).
Kebijakan Pemulihan Perbankan
Dengan terus menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan dan kian meningkatnya penarikan dana masyarakat
dari perbankan disamping bertambahnya jumlah non performing assets terutama
portofolio kredit bank (non performing loan), semakin memperburuk kondisi
perbankan. Jumlah bank yang mengalami kesulitan semakin bertambah yang berakhir
dengan pengambilalihan atau bank take over (BTO), pembekuan kegiatan
operasional (BBO) atau bank beku kegiatan usaha (BBKU).
Menyadari bahwa krisis yang terjadi telah semakin
memburuk, pemerintah mempercepat dan memperluas cakupan program stabilisasi
reformasi ekonomi dengan melakukan penandatanganan memorandum kesepakatan (letter
of intent) dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Khusus untuk moneter,
pemerintah mengarahkan kebijakan pada upaya untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat kepada perbankan.
Program Penjaminan Terhadap Kewajiban
Perbankan
Dalam ragka usaha pemulihan kepercayaan para
deposan dan kreditur baik dalam negeri maupun luar negeri terhadap sistem
perbankan Indonesia dan dalam rangka membangun kembali sistem perbankan yang
sehat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemerintah menetapkan untuk
melaksanakan program yang komprehensif pemulihan sistem perbankan. Program ini
meliputi dua unsur utama, yaitu. Pertama, penyediaan jaminan penuh oleh
pemerintah kepada seluruh nasabah deposan dan kreditur bank umum nasional.
Kedua, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Nasional. Program penjaminan ini
pada dasarnya adalah pemerintah menjamin seluruh dana masyarakat deposan dan
kreditur bank yang berbadan hukum Indonesia dijamin pengembaliannya oleh
pemerintah. Jaminan berlaku atas kewajiban baik dalam rupiah maupun dalam
valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan tersebut berlaku sama untuk bank
swasta maupun bank pemerintah. Jaminan tersebut berlaku pula untuk bank-bank
yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger, akuisisi, konsolidasi dan
sebagainya).
Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN)
Dalam rangka mengatasi dampak yang
ditimbulkan oleh gejolak moneter dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
khususnya terhadap sistem perbankan nasional, pemerintah telah memberikan
jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada seluruh deposan dan
kreditur sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Sebagai pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank tersebut di
atas, maka dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank,
dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 27 Januari
1998 dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 yang kemudian dikukuhkan
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang perbankan. Sebagai tindak lanjut dari pendirian BPPN, pihak
BPPN dan Bank Indonesia sebagai pengawas bank telah bekerjasama menetapkan
suatu kebijakan strategis yang komprehensif dalam penyehatan bank. Penjabaran
kebijakan tersebut dilakukan sejalan dengan jaminan yang telah diberikan
pemerintah atas keamanan dana para deposan dan kreditur bank.
Program restrukturisasi yang merupakan upaya
yang dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan kondisi perbankan yang terpuruk
sebagai dampak dari krisis moneter yang berkepanjangan sehingga menjadi krisis
ekonomi. Sejak berlangsungnya krisis eknonomi, sektor perbankan menghadapi
berbagai masalah yang cukup serius. Pada akhir tahun 1997 dan awal 1998,
seperti telah dijelaskan sebelumnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
merosot dengan pesat, para deposan dan penabung melakukan penarikan bersamaan (rush),
bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Hal tersebut semakin meningkatkan ketidak
percayaan masyarakat terhadap perbankan yang jelas dapat menjurus kepada
runtuhnya sistem perbankan nasional, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
macetnya sistem pembayaran dan perekonomian. Untuk menghindari kemungkinan itu,
maka pada akhir Januari 1998 ditempuh kebijakan penyelamatan dengan memberikan
jaminan kepada para penabung, deposan dan kreditur bank. Dengan kebijakan ini
maka bank-bank yang mengalami likuiditas dapat meminta bantuan likuiditas dari
Bank Indonesia (BLBI).
Tahapan rekapitulasi. Tahapan-tahapan dalam
rangka pelaksanaan program rekapitulasi meliputi pemeriksaan kondisi keuangan
bank (due diligence), pengelompokan bank atas dasar kondisi permodalannya,
penilaian terhadap rencana kerja (business plan) bank, penilaian fit
and proper test pemegang saham pengendali dan pengurus bank, serta
penyetoran modal dan pengikatan perjanjian bagi bank-bank yang memenuhi
persyaratan.
No comments:
Post a Comment