Nama Okkie Monterie memang telah dikenal lama sebagai salah
satu pemain berpengalaman di pasar uang. Kegiatan jual-beli valuta asing telah
ia lakukan sejak pertama kali menapaki kariernya di sektor perbankan. Baik
perbankan Indonesia maupun perbankan asing pun pernah ia cicipi. Pria kelahiran
Cibadak, Sukabumi 29 September 1944 ini pernah 10 tahun berkarier di Belanda,
yaitu di Pierson Heldring & Pierson NV dan Bank of America NT&SA. Masa
berkarier di Belanda itulah yang membuat dirinya punya nama di pasar uang.
Tapi saya tidak mendirikan konsultan yang
profesional. Mungkin bisa dibilang saya ini match maker saja, saya mempertemukan pengusaha dengan
pengusaha agar terjadi kerja sama. Mengenaifee, saya juga tidak meminta
sejumlah tertentu, kalau mereka mau membagi ya silakan, kalau tidak ya saya
tidak minta. Selama saya bisa, akan saya bantu. Karena saya ini kan diberi otak
oleh Tuhan, sayang kalau tidak digunakan. Lagi pula jika di rumah saja dan
tidak digunakan, lama-lama beku. Saya hanya aktif di Yayasan Kehati, di mana
saya duduk di komisi investasi. Sejak awal saya diminta oleh Prof. Emil Salim
untuk membantu di Yayasan Kehati. Di yayasan ini, fungsi saya sebagai penasihat
di bidang investasi.
Profesi Idaman Karena Keasyikan Main Uang
Rupiah terpuruk, perekonomian gonjang-ganjing, dan negara di ambang
kebangkrutan. Ekonom bersuara, tak ketinggalan pula para anggota DPR. Pengamat
baru bermunculan. Makin bingunglah orang. Uraian siapakah yang jadi pegangan?
"Tak ada yang bisa memberikan gambaran soal pasar uang dengan lebih jelas
selain para pemain Forex (Valas)," kata Theo Francisco Toemion (42),
pengamat pasar uang sekaligus pemain Forex (Valas), meski kini lebih banyak
membagi pengetahuan soal dunia yang telah belasan tahun ditekuninya itu kepada
orang lain.
Ada perbedaan antara pandangan para pakar dengan Theo F. Thoemion sehubungan
dengan krisis ekonomi yang memburuk sejak kuartal terakhir tahun lalu. Pihak
pertama lebih melihat krisis berpangkal pada lemahnya sistem perbankan,
kebocoran anggaran, buruknya pengawasan, monopoli, kolusi, korupsi, nepotisme,
dan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan Theo lebih melihat ulah spekulan di pasar
uang sebagai sebab paling dominan. Sisi-sisi negatif penyebab keroposnya
fondasi ekonomi itulah yang menyebabkan krisis tak segera bisa diatasi. Kalau
Korea, Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia bisa pulih dalam hitungan
bulan, negara kita jauh lebih lama.
Sebagai pelaku pasar Forex (Valas), Theo tahu betul, tanda-tanda bencana telah
muncul sejak lama. Semuanya adalah permainan para fund manager atau pemain
pasar Forex (Valas), yang diwarnai keinginan untuk menguji ketangguhan otoritas
moneter suatu negara. Ia tahu bagaimana pedagang besar Forex (Valas) - yang
acap disebut spekulan - semacam George Soros memainkan peran dalam Yendaka,
melambungnya nilai tukar Yen terhadap AS $, pada 1994. Ia juga mencatat,
permainan para spekulan di Eropa memaksa pembahasan mata uang tunggal Eropa
(Euromoney) lebih diintensifkan pada 1996. Selewat masa itu, para spekulan
memang menurunkan aktivitas. Tapi lewat media massa Theo memperingatkan, "Hati-hati,
bukan mustahil mereka akan mengalihkan perhatian ke Asia," begitu antara
lain tulisnya saat itu. "Mereka menunggu kesempatan bermain mata uang
menarik, exotic currencies seperti Won, Bath, Peso, Ringgit, atau Rupiah.
Jangan lupa, Indonesia negara kaya. Karena itulah mereka membidik kawasan ini,
bukan ke Afrika, misalnya."
Betapa tidak. Salah satu kawasan paling dinamis di dunia, dengan pertumbuhan
ekonomi tiap negara rata-rata 7%/tahun, itu tak punya batasan berarti bagi
lalu-lintas devisa. Otoritas moneternya juga belum teruji. Kalau dalam
persaingan di Amerika, Eropa, dan Jepang para spekulan sering kalah, siapa tahu
di kawasan ini. Maka bermainlah mereka.
Pertengahan tahun lalu, saat pemerintah memperlebar pita intervensi, mereka
menangkap sinyal "tantangan" itu, dan terpacu gairah untuk bermain
dengan Rupiah. Ketika Oktober 1997 duet Soedradjat Djiwandono - Mar'ie Muhammad
memutuskan untuk melepas ambang intervensi, mereka pun mendobrak. Rupanya,
keputusan historis untuk membiarkan Rupiah mengambang bebas itu tak didukung
kondisi yang cukup. Nilai tukar dikuasai dan dimainkan, bahkan dalam seminggu
bisa terdepresiasi sampai 50%. Utang membengkak, harga barang melonjak,
produksi mandek, banyak perusahaan bangkrut. Inflasi membubung, dan perekonomian
nyaris ambruk. Tak disangka, fondasi ekonomi kita demikian keropos.boleh ada
berita buruk.
Ada 4 faktor yang menurut Theo bisa jadi penentu naik turunnya kurs: fondasi
ekonomi makro, carta/grafik berdasarkan rumus, faktor teknis-psikologis, dan
ulah para spekulan. Soal fondasi ekonomi, menurut Theo, pasar telah mendapat
bukti rentannya perekonomian kita. Carta atau grafik pun sudah dibuat saat kita
menempuh rezim devisa terkontrol; misalnya dengan mematok depresiasi tahunan 3
- 4%. Sedangkan faktor psikologis sangat berhubungan dengan ulah spekulan, apa
lagi dalam rezim devisa bebas. "Sekali pasar memperoleh bukti mata uang
suatu negara bisa didikte, mereka mendikte terus."
Pendiktean harga, yang terjadi setelah ada dorongan psikologis, berawal dari
berita-berita politik yang berpotensi "dimainkan". Theo menunjuk
contoh, seluruh dunia tahu Indonesia pra-11 Maret 1998 menghadapi suksesi. Maka
berita tentang Presiden Soeharto dan situasi sosial politik menjadi bahan
permainan spekulan. Keadaan sakit, yang dalam bahasa Inggris bisa dirumuskan
dalam beberapa kata, mulai dari He's sick, He's ill, sampai He's seriously ill,
mengakibatkan beraneka nilai kurs.
Memang benar. Menurut catatan Theo, grafik penurunan itu berlangsung sejak bank
sentral ketahuan tak punya nyali sehingga menyebabkan Rupiah turun dari Rp
3.000,- ke Rp 3.800,- terhadap AS $. Angka turun lagi ke Rp 4.400,- karena Pak
Harto istirahat. Kemudian menjadi Rp 4.800,- karena imbas krisis Korea, turun
ke Rp 5.600,- karena Pak Harto batal ke Malaysia, dan dari Rp 6.200,- ke Rp
9.000,- karena pencalonan B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Kurs membaik
setelah penandatanganan nota kesepakatan dengan IMF 15 Januari, namun turun
lagi setelah terjadi beberapa kerusuhan dan demonstrasi.
Kenyataan itu membuktikan, dalam rezim devisa bebas segala berita dan peristiwa
baik menjadi syarat utama. Dalam berbagai kesempatan Theo mengingatkan,
membiarkan Rupiah mengambang bebas sama dengan bunuh diri tanpa dibarengi
perbaikan di segala sektor yang akhirnya melahirkan berita buruk. Percuma ada
janji segala macam reformasi, penghapusan monopoli dan oligopoli, tetapi tak
ada wujudnya.
Dapat dimengerti, naik-turunnya nilai Rupiah tak lagi ditentukan oleh hukum
ekonomi, keseimbangan antara penawaran dan permintaan. "Tak ada teori yang
bisa menjelaskan hal ini," kata Theo. "Saat masyarakat makin tahu
persoalan, omongan para ekonom sering diabaikan. Pemain seperti saya yang
diperhatikan"
Lantas, berapa kurs AS $ yang wajar? "Ambil nilai terakhir sebelum krisis
Rp 2.400,-. Ditambah 80%-lah, sekitar Rp 4.320,-." Penjelasannya, dalam 10
tahun terakhir perbedaan suku bunga antara AS $ dan Rupiah sekitar 10%. Suku
bunga AS $ 5% dan suku bunga Rupiah 15%. Selisihnya 10%, dan dalam 10 tahun
menjadi 100%. Sementara depresiasi per tahun, katakanlah 4%. Jadi dalam 10
tahun menjadi 40%. "Nah, selisih antara perbedaan suku bunga dan
depresiasi dalam 10 tahun, 100% - 40% = 60%. Tak usah dipatok 60%; beri
kemungkinan sampai 80% untuk ditambahkan pada kurs terakhir. Jadi 180% dari Rp
2.400,- = Rp 4.320."
Tapi sekali lagi kenyataan membuktikan, segala teori dan hukum ekonomi tak
berlaku bagi kurs yang liar karena permainan.
Kalau
kita konsisten, pasar akan respek
Dunia perdagangan Forex (Valas) dewasa ini bagaikan dikontrol para fund manager
besar yang disebut big boys. Menurut Theo, jumlah big boys yang tercatat saat
ini 2.500 orang. Akumulasi modal mereka sekitar AS $ 1.300 miliar, dan dalam
keadaan terpaksa bisa mendapat pinjaman hingga 10 kali lipatnya. Jumlah ini sungguh
raksasa, sebab cadangan devisa negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD pun
kalau digabung tak lebih dari AS $ 700 miliar. Maka bisa dibayangkan betapa
konyolnya gagasan untuk melawan spekulan dengan cadangan devisa hanya AS $ 20
miliar, misalnya.
Dari 2.500 big boys itu terbawa serta ribuan orang lain sebagai mitra atau
pelaksana. Sudah menjadi kebiasaan, pengambilan posisi para pelaksana
ditentukan oleh tokoh besar. Jika Soros, misalnya, mengambil posisi Rp 9.000,-
untuk 1 AS $, yang lain pasti mengikuti. Jika esoknya Soros menjual dengan
harga Rp 9.500,-, yang lain pun pasti ikut. Semua serempak, dan begitulah nilai
mata uang dimainkan.
Kalau mata uang suatu negara dipatok pada nilai tetap, spekulan memang tidak
lagi bisa main. Hanya saja, menurut Theo, konsekuensinya ada dalam perekonomian
negara yang bersangkutan. Bagi Theo, reformasi ekonomi apa pun yang dipilih
pemerintah tak penting benar, asal bisa mengatasi segenap konsekuensinya.
Misalnya, pelepasan batas intervensi mensyaratkan perbaikan ekonomi total,
sedangkan pematokan nilai uang mensyaratkan cadangan devisa yang cukup dan
perbankan yang sehat.
"Tak bisa pula dilepaskan faktor keberanian bank sentral. Kepada siapa pun
yang mau memaksakan kehendak, bank sentral tak boleh setengah hati. Kalau perlu
habis-habisan berintervensi. Jika ini terus berlanjut, dan dunia membuktikan
konsistensi kita, pasar pun akan segan," kata Theo. "Betapa pun kuat
dan nafsunya spekulan, kalau menghadapi otoritas moneter yang teguh dan
konsisten, mereka juga berpikir untuk main-main. Seperti pernah dialami
Hongkong, para spekulan menghentikan serbuan karena tahu Inggris berada di
belakangnya. Tak seorang pun ragu ketangguhan sistem keuangan
Inggris."
Kasus Indonesia, menurut Theo, adalah bukti kesekian dari pelecehan para big
boy terhadap otoritas moneter. Permainan selisih kurs antara Rupiah - AS $ jauh
lebih mudah ketimbang permainan selisih kurs Yen - AS $ atau Mark Jerman - AS $
yang didukung otoritas moneter sangat berwibawa, dan karenanya disebut hard currencies.
Akibatnya sangat mudah diterka, bahkan oleh ibu-ibu rumah tangga, pihak yang
acap disalahkan karena dikira ikut-ikutan berspekulasi. Masalahnya, menurut
Theo, selain tuduhan itu tak benar karena jumlahnya tak seberapa dibandingan
dengan aktivitas pasar uang, pemikiran para ibu sangat simpel. Jika dulu mudah
menghitung depresiasi, 3 - 4% setahun, siapa sangka tiba-tiba depresiasi bisa
20% dalam sehari? Kalau punya simpanan Rupiah dan berbunga, katakanlah 40%,
pada akhir tahun tak akan mencapai jumlah jika didolarkan. Pada akhirnya memang
tak ada pihak yang bisa disalahkan kalau terjadi perburuan mata uang asing,
karena negara menganut rezim devisa bebas.
Menggelinding
seperti bola salju
Di pasar uang, komoditas yang diperdagangkan tak cuma valuta asing. Menurut
Theo, meski pemerintah mematok kurs Rupiah, tak berarti kegiatan berhenti. Ada
pelbagai macam surat berharga dan surat-surat komersial yang
diperdagangkan.
Memang, belakangan problem ekonomi negara kita tak cuma berasal dari dalam negeri,
melainkan dari luar negeri. Lembaga pemeringkat semacam Standard's & Poor,
sekalipun banyak dicibir, pengaruhnya terhadap pasar sangat besar. Peringkat
buruk yang disandangkan kepada Indonesia, Maret lalu, adalah klimaks dari
kesulitan eksternal. Alat pembayaran berjangka seperti letter of credit (L/C)
tak diterima, investor asing pun tak serta merta datang buat menanamkan modal.
"Dengan peringkat itu, pembeli kertas berharga dari Indonesia tak lagi
dianggap berinvestasi, melainkan dicurigai mau berspekulasi," kata Theo.
"Kalaupun saya, misalnya, menempatkan diri sebagai broker untuk
mendatangkan uang dari investor asing, sekarang ini sangat sulit.
Ketidakpercayaan demikian kuat, perlu waktu lama untuk
memulihkannya."
Pasar uang dunia memang sulit dilawan. Kalau kekayaan big boys sangat besar,
itu konsekuensi dari hakikat pasar uang. "Istilahnya a snowball business,
bisnis yang menggelinding bagai bola salju. Orang harus jadi besar untuk
survive."
Bisnis pasar uang, menurut Theo, menganut filosofi dasar: bukan soal berapa
jumlah uang yang akan Anda peroleh, melainkan berapa jumlah uang yang siap Anda
habiskan. Gambarannya, jika seseorang kerja keras sepanjang tahun hingga
memperoleh uang Rp 1 miliar, akan sangat keliru kalau menggunakannya untuk main
forex. Tetapi jika seseorang mendapat lotere Rp 1 miliar, yang Rp 800 juta
untuk beli rumah/tanah, Rp 100 juta untuk beli kendaraan, dan sisanya untuk
main forex, silakan saja. "Maka, kalau ada seorang fund manager siap
menghabiskan AS $ 5 miliar di pasar forex, tak terbayang berapa besar
kekayaannya"
Bisnis di pasar uang tak sama dengan judi. Kata Theo, jika judi nasib pelaku
100% tergantung pada kartu, "Di pasar uang ada hal-hal yang bisa
diperhitungkan dan dicarikan peluang."
Menurut Theo, ada 7 tingkat yang harus dicapai untuk betul-betul memahami
bisnis ini. Selain 4 faktor penentu nilai mata uang yang sudah disebut tadi,
ada beberapa hal lain seperti lobi atau hubungan, termasuk kemampuan berbahasa,
faktor intelijen alias daya endus informasi, dan hal paling abstrak dan sulit,
sehingga orang tak sanggup berpikir lagi. "Misalnya, semua faktor telah
terpenuhi, prediksi sudah dilakukan, tapi tak ada action. Ketika faktanya sama
dengan yang sebelumnya telah diperhitungkan, muncul rasa sesal kenapa tidak
begini kenapa tidak begitu. Itulah yang saya maksud tingkat
ketujuh."
Sekalipun menggiurkan, bisnis di pasar uang penuh kekecewaan. "Karena apa?
It's about money. Orang hanya tergiur melihat angka. Mereka ramai-ramai
bermain, sementara tatanan dan hukumnya tak mudah dipelajari. Lagi pula dunia
itu sudah dikuasai mafia, big boys, dalam cara kerja yang terintegrasi. Apa pun
permainan para pendatang, mafia-lah yang memperoleh keuntungan"
Menurut Theo, setelah perang dingin reda dan komunisme runtuh, tak ada lagi
kekuatan yang punya daya penghancur sangat dahsyat selain uang. "Ketika
uang menjadi komoditas, dampaknya global. Bencana keuangan di suatu negara
segera bisa merembet ke negara lain. Siapa sekarang orang kaya di kawasan
krisis yang merasa terjamin hingga 7 keturunan? Tak terbayangkan, uang bisa
berlipat kali atau hancur sama sekali hanya dalam hitungan hari."
Jika ditarik ke dimensi filosofis, kata Theo, krisis ekonomi adalah akibat ulah
manusia yang menganggap uang sebagai ideologi. Fakta menunjukkan, miliaran AS $
telah menguap entah ke mana. Lembaga keuangan banyak yang rugi, Soros rugi,
demikian pula para big boy. Tak jelas ke mana uang-uang itu pergi.
"Inilah tanda-tanda zaman," kata Theo. "Tuhan kasih antibiotik
untuk mereka yang terlalu menghamba pada uang. Orang kaya pusing, konglomerat
pusing. Rasain."
Main
uang karena ingin menikmati hidup
Terjunnya Theo di kancah pasar uang agaknya tak terduga sebelumnya. Pria
kelahiran Manado, 21 September 1956, ini semula berangan-angan jadi pastor,
tapi dikeluarkan saat naik ke kelas 3 Seminari Menengah Tomohon tahun 1974.
Anak ke-4 dari 7 bersaudara ini sama saja dengan ayah, paman, para sepupu, dan
saudaranya, yang pernah masuk ke seminari namun gagal jadi pastor. "Saya
menanggung harapan besar. Nilai dan aktivitas sekolah bagus. Maka ibu
terguncang dan jatuh sakit ketika saya keluar," kenangnya.
Pastor pembimbing waktu itu mengatakan, ia akan lebih sukses hidup di luar
biara. Kendati sedikit menyesalkan keputusan itu, ia berbalik haluan. Ia melamar
ke Bank Indonesia dan diterima di BI cabang Surabaya. Setelah 2 tahun bekerja,
timbul keresahan di antara teman-temannya yang cuma berijazah SMA. Sebab dengan
begitu, mereka tak mungkin bisa masuk jajaran staf. "Nggak bakal pakai
dasi dong seumur-umur," papar Theo mengenang.
Nampaknya BI tanggap pada kegalauan itu dan mengadakan seleksi untuk promosi.
Yang lolos akan disekolahkan sejajar dengan universitas. Dari BI Surabaya lulus
4 orang, salah satunya Theo. Sementara dari seluruh Indonesia terjaring 60
orang. Mereka dimasukkan ke Pendidikan Ahli Administrasi dan Keuangan Bank di
Jakarta, menjalani pendidikan maraton dari pukul 08.00 - 17.00 setiap hari
dengan fasilitas penuh, selama 3 tahun. "Gelarnya sejajar akuntan, tapi BI
nggak kasih gelar, takut kami keluar."
Sempat bekerja di bagian pengawasan BI selama setahun, ia kembali mengikuti
seleksi intern guna ditempatkan di London. Dari 40 peserta hanya Theo yang
lulus. Di London ia langsung jadi staf termuda pada umur 23 tahun. Kesempatan
di sana ia gunakan untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan praktek. Belajar
forex di Paris, London, Amsterdam, dan Kopenhagen. Mempelajari bank sentral di
Denmark dan Belanda, menggeluti cadangan emas di Swis, juga duduk dan bermain
di banyak ruang transaksi forex. "Waktu itu kepala dealing room Jakarta
pindah, jadi saya disiapkan untuk menggantikannya. Saya sadar, untuk jadi
dealer harus punya pengalaman dan cakrawala dengan duduk di pusat keuangan
dunia."
Penempatan dealer di BI sebenarnya bertujuan untuk mengelola cadangan devisa
sejumlah AS $ 6 miliar dengan menempatkannya di posisi yang tepat. Bukan untuk
memperdagangkannya. "Maka di luar jam kerja, saya main margin trading atas
nama pribadi, bukan BI."
Setelah 5 tahun bermukim di Inggris, Theo sebenarnya ingin pulang ke tanah air,
tetapi pemerintah Inggris mengetahui reputasinya dan memberi izin tinggal
tetap. Ia bisa bekerja apa saja. "Wah, percaya dirilah saya. Pekerjaan BI
yang diidamkan banyak orang nggak terlalu menggiurkan lagi," kata Theo.
Maka, ketika benar-benar pulang ke Indonesia ia sekaligus minta izin keluar
dari BI untuk masuk ke London School of Economics (LSE). Maksudnya sebagai batu
loncatan untuk bekerja di Bank Dunia atau IMF. Tapi keasyikan bermain forex
membuatnya malas bersekolah. "Jiwa saya player, jadi saya tak jadi masuk
LSE meskipun sudah diterima. Saya main valas terus, dan ingin menikmati
hasilnya. Saya ingin menikmati hidup bukan sebagai pegawai BI yang
bertahun-tahun cuma bisa naik mobil sederhana."
Saat main margin trading, pertengahan 1980-an, modal dengkul masih berlaku.
Modalnya dipinjami, tapi kalau untung masuk kantung sendiri. Pokoknya main
untuk meramaikan. Masa itu tak sulit mereguk untung lantaran pasar gampang
diterka. Dolar turun searah. Tapi sejak 1987, peluang meraup keuntungan makin
sulit. Selain pemain makin banyak, modal pun mulai diatur. Saat itulah Bank
Duta terpuruk karena permainan valas.
Soal kesempatan meraup untung memang tak ada yang lebih cepat daripada main
valas. "Saya masih ingat, hanya dengan mengangkat telepon dari vila di
Puncak sambil main gaple dan makan pisang goreng, bisa dapat AS $ 60.000
semalam."
Telepon memang diibaratkan cangkulnya buat cari makan. Juga berbagai perangkat
komunikasi. Baik untuk bertransaksi ke seluruh dunia, memantau pasar yang
berjalan 24 jam sehari, juga melihat kerugian dan keuntungan uangnya.
"Tapi hidup saya tak habis di sana. Apa lagi saya harus membagi
pengetahuan kepada banyak orang. Kalau menulis dan bikin analisis, saya tak
main. Saya meramal dan menghitung, biar orang lain yang dapat
keuntungan."
Theo tak terikat pada suatu lembaga keuangan. Kalau mau main, ia sendiri yang
menentukan. Sejak tahun lalu, ia mendirikan perusahaan jasa konsultasi pasar
uang Speed Currency. Bagi yang ingin tahu atau ingin main valas boleh jadi
pelanggan. Dengan membayar AS $ 100/bulan, Theo pun memberi analisis dan
panduan.
"Cita-cita saya membuat Speed Currency seperti Bloomberg. Ia besar dan
disegani, meski awalnya juga dirintis di garasi," ia menunjuk garasi di
rumahnya yang berhalaman luas di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ia
mempekerjakan 4 orang yang, selain mengolah analisis, juga bertindak sebagai
fund manager. "Mereka jago-jago yang tak bisa dianggap remeh, karena lewat
tangannya sering terjadi transaksi miliaran dolar," kata Theo
bangga.
Karena bekerja di rumah, Theo tak terikat pada aturan dan jadwal kerja yang
pasti. Ia adalah pegawai bagi dirinya sendiri. Juga pegawai yang mengantar
anak-anak ke sekolah, menemani mereka bepergian, bahkan mendampingi saat mereka
mau tidur.
Theo menganggap, anak-anak lebih memerlukan kebersamaan ketimbang uang. Tak
soal ia telah punya vila di Puncak, Jawa Barat, dan hotel di atas tanah 10 ha
di Manado. Anak-anak pula yang menghadirkan cerita unik bagi perjalanan hidup
Theo. Saat masih di dalam kandungan, kecuali si bungsu Daniel (hampir 2 bulan),
mereka berada di tempat yang jauh dari rumah. Dari yang sulung tempatnya paling
jauh, sampai si bungsu yang paling dekat. Namun akhirnya semua lahir di
Jakarta.
Menurut istrinya, Sandra Pingkan Adriana Lolong (38), si sulung Monika (12)
berada di dalam kandungan saat mereka di New York . "Barulah 2 bulan
menjelang melahirkan, saya kembali ke Jakarta," kata Sandra. Begitu pula
Abi (9) yang dikandung saat mereka tinggal di London. Keisha (7) anak ketiga,
dikandung di Singapura. Sedangkan Dorothea (5) dikandung sewaktu mereka di
Manado. Barulah anak ke-5, Daniel, menghabiskan seluruh masa janin hingga lahir
di Jakarta.
Jumlah anak sampai 5, bagi pasangan Theo dan Sandra juga cerita tersendiri.
Theo memang dari keluarga besar, namun Sandra hanya 2 bersaudara. Setelah
kelahiran Abi, keduanya ingin ber-KB. "Tapi apa mau dikata, kebobolan
terus. Selain mengalami beberapa kegagalan, saya pun pernah kehilangan
spiral," kata Sandra. "Akhirnya, setelah melahirkan Daniel, saya
minta disteril."
Buat pasangan ini, anak-anak adalah segalanya. Mereka yang terbiasa memanggil
"Papa Theo" adalah rekan sepanjang hidup, sekaligus jadi rem manakala
Theo terlalu keasyikan bermain uang. (G. Sujayanto/A. Heru Kustara/Mayong S.
Laksono)
Dari Belanda, Okkie kembali ke Tanah Air tahun 1983 dan
bergabung dengan Chase Manhattan Bank sebagai Vice President Treasury.
Setelah lima tahun di Chase, tahun 1989 Okkie hijrah ke Bank Internasional
Indonesia dan langsung menjabat Direktur Treasury. Di awal kehadirannya,
transaksi valas BII dapat mencapai US$ 70 juta per hari. Maka, pada Agustus 1991,
posisinya sudah naik menjadi Wapresdir. Setelah krisis 1997-1999, ia masih
menjabat Penasihat Senior di BII hingga 1999.
Saat ini Okkie sudah tidak aktif lagi
melakukan trading baik di pasar uang maupun berinvestasi di instrumen
lainnya. Namun setiap hari ada saja pihak perbankan asing yang mengirimkan
laporan perkembangan pasar kepadanya. Tak jarang mereka juga menelepon Okkie
untuk sekadar minta saran atau pendapat. Bagi bungsu dari empat bersaudara ini,
semua itu dianggapnya sebagai sarana berbagi pengetahuan dan memanfaatkan
kemampuan berpikirnya untuk membantu orang lain, serta membuat otaknya tetap
bekerja dan terasah meski telah pensiun.
Kini ayah dua anak dan kakek lima cucu ini lebih banyak
menghabiskan waktunya bersama keluarga. Ditemui di rumahnya yang asri, sarat
dengan barang seni dan kerajinan yang memiliki nilai sejarah dan spiritual di
kawasan Jeruk Purut, Okkie berbicara tentang pengalaman dan pandangannya
mengenai pasar keuangan. Berikut kutipan wawancara wartawan SWA, Kristiana
Anissa dan Tika Widyastuti dengan Okkie Monterie.
Apakah Bapak masih aktif melakukan trading di
pasar uang atau berinvestasi di instrumen keuangan?
Aktif sih sudah tidak, karena saya memang sudah
pensiun. Yang saya kerjakan sekarang adalah menjadi konsultan. Saya membantu
teman saya jika mereka perlu bantuan dalam hal manajemen perusahaan atau
menjalankan proyeknya. Jika mereka butuh bantuan dalam hal pendanaan, ya saya
bantu carikan untuk mereka, karena saya masih banyak kenalan.
Jadi sudah tidak mengelola sendiri?
Tidak. Tapi saya masih selalu mengikuti perkembangan pasar
dan memberikan pendapat jika ada yang tanya pendapat saya. Lagi pula pasar uang
itu memang darah saya. Pihak perbankan dan sekuritas terutama dari luar negeri
juga banyak yang masih mengirimkan laporan mereka ke saya setiap harinya.
Karena banyak bank asing yang bermain di bidang private banking, dan
mereka tentu harus berikan advice pada nasabahnya. Kadang mereka
bingung, “Kalau market seperti ini bagaimana ya?“ Entah kebetulan
atau tidak, umumnya yang saya katakan itu terjadi. Maka mereka pun sering
bertanya lagi pada saya.
Misalnya dua tahun yang lalu emas masih di bawah US$ 1.000
per troy ounce, yakni berkisar US$ 800-900 per troy ounce. Saya
katakan, belilah emas, karena harga emas akan menjadi US$ 2.000 per troy
ounce. Nah itu terjadi, meskipun akhirnya harganya turun lagi ke kisaran US$
1.500 pertroy ounce, dan sekarang berada di level US$ 1.600. Saran saya, jika
harga emas turun belilah emas, karena harga emas bakal mencapai US$ 3.000
per troy ounce.
Penggunaan emas ini banyak sekali. Lihat ponsel Anda, setiap
cip itu ada emasnya. Coba bayangkan, berapa juta emas dibutuhkan, dan orang
tidak memikirkan itu. Alasan kedua, emas itu adalah save heaven.
Jadi apa pandangan Bapak mengenai pasar modal Indonesia ke
depan?
Menurut saya, suatu saat pasti akan meledak. Mungkin masih
bisa naik sedikit, tapi akan meledak karena sudah bubble. Sudah over
the top. Sekarang saya tanya, dasarnya IHSG bisa naik apa? Apakah karena dia
mengikuti pasar di negara lain seperti Amerika Serikat? Bursa AS memang naik,
tapi jangan lupa, sejak krisis 2008 hingga sekarang, persentase kenaikan bursa
Indonesia sudah lebih tinggi dari persentase kenaikan bursa AS. Saya tidak
yakin bursa Indonesia akan naik lagi cukup banyak.
Apakah Bapak memiliki investasi sendiri?
Tidak ada. Saya memang punya sawah di Banten, karena saya
juga menyadari pentingnya ketahanan pangan seperti yang pernah saya sampaikan
pada pemerintah sekitar 8 tahun yang lalu. Tapi saya ini bukan orang yang
terlalu melihat pada kekayaan. Kekayaan itu sementara saja dinikmati di dunia
ini, tidak mungkin dibawa mati. Memangnya apa yang ingin kita beli?
Rockefeller? Kita bisa saja kaya sekarang dan besoknya jatuh miskin. Bagi saya,
asal keluarga saya nyaman saja. Saya punya rumah ini juga karena saya bekerja
keras, dan dulu tahun 1998 saya membelinya dengan harga murah.
Menurut Bapak pegerakan rupiah terhadap US$ saat ini
bagaimana?
Saya bilang rupiah is over value, karena bank
sentral mencoba menekan inflasi dengan menekan rupiah, semua bank dikontrol.
Jadi, rezim devisa bebas itu tidak ada, karena semua dikontrol. Kalau toh ada
orang yang mau beli banyak dolar, banknya ditegur. Jadi apa yang akan terjadi?
Mau tidak mau black market akan berjalan. Beberapa bulan lalu itu
sudah terjadi. Kurs rupiah terhadap dolar AS resminya Rp 9.700, di luar sudah
diperdagangkan dengan harga Rp 10 ribu.
Apa perbedaan yang paling signifikan pada pasar uang ataupun
pasar modal dulu dan sekarang?
Kalau pasar modal Indonesia, dulu tidak ada apa-apanya,
sedangkan pasar uang sekarang ini mati, karena bank-bank dikontrol. Bank mana
yang dapat line ke bank asing di luar negeri sekarang ini? Tidak
banyak. Jadi sulit. Ada BCA yang besar, tapi dia bukan pemain. Pemain di pasar
itu sedikit sekali.
Jauh lebih sedikit dibanding dulu?
Jauh sekali. Sekitar tahun 1995 atau 1996 saya pernah
masukkan US$ 2 miliar ke pasar internasional, dan dengan itu saja pasar tidak
bergerak, hanya bergerak sedikit sekali. Lawannya banyak, ada Soros dan
sebagainya. Begitu saya beli balik dengan jumlah dobel, barulah pasar bergerak.
Saat itu saya masih di BII. Jadi, bayangkan berapa besar pasar uang itu.
Sekitar 20 tahun sebelumnya, saat saya mencetak nama di Eropa dengan bermain
dalam konsorsium di Eropa, itu kecil sekali dan sudah mampu menggerakkan pasar.
Bagaimana Bapak bisa dikenal di lingkungan pasar uang
global?
Saya dikirim oleh Ficorinvest tahun 1974 ke Belanda untuk
belajar tentang pasar uang selama dua tahun. Tapi saat saya di sana,
Ficorinvest di Indonesia bubar, pemegang saham asingnya melepas kepemilikan dan
diambil alih oleh Bank Indonesia. Jadi saya ditawari kembali atau tetap di
Belanda. Kalau kembali ya balik ke Ficorinvest. Akhirnya saya pilih untuk tetap
di Belanda. Dan, itu tidak mudah, karena tadiya ekspatriat di Belanda,
tiba-tiba jadi lokal. Penghasilan tidak cukup, pinjam terus. Tapi tidak
masalah. Saya pikir saya di sana untuk belajar, nanti pasti akan berguna. Dan,
itu terjadi.
Setelah saya belajar semua tentang pasar uang, dan sudah
banyak kenalan dari perbankan asing, saya ajak mereka membentuk konsorsium.
Jadi saya mengajak Morgan Guarantee, Citibank, dan ABN mengumpulkan dana untuk
bermain di pasar uang. Terkumpullah US$ 400 juta. Pada waktu itu satu transaksi
hanya butuh US$ 500 ribu, masih kecil. Akhirnya saya mulai main US$ 1 juta, US$
10 juta, dan seterusnya. Kami bicara di telepon, satu berada di Brussel, satu
di London, satu di Paris, dan saya di Amsterdam. Saya katakan, “Menurut saya
dolar akan naik, kalau tidak ya kita bawa naik.” Semua setuju. Kami mulai jual
pagi jam 9 hingga pasar uang jatuh, lalu sorenya sekitar pukul 2.30 kami mulai
ambil keuntungan. Kami beli lagi hingga harga naik lagi. Di situlah saya dapat
nama di luar negeri, bahkan sampai ke Singapura.
Tapi dulu antara pasar uang AS dan Eropa masih pakai faks
dan telepon, tidak seperti sekarang yang sudah sangat cepat dan tinggal melihat
ke layar. Dulu ada disparitas atau selisih kurs.
Apakah Bapak sempat mengambil kesempatan pada saat
kerisi moneter tahun 1997-1998?
Untuk pribadi tidak, saya hanya utamakan nasabah saya di
BII. Tidak ada sedikit pun saya ambil momentum untuk pribadi. Mungkin bodoh,
tapi saya percaya rezeki itu akan datang sendiri.
Apa pesan Bapak untuk orang-orang yang saat ini masih
aktif trading baik di pasar modal maupun di pasar uang?
Kejujuran harus diutamakan. Dalam bermain valas harus ada
batas, sedangkan gambling tidak ada batas. Kalau untung semua orang
mau, tapi orang tidak mau rugi. Toh, ada kalanya kami harus mau ambil kerugian,
karena jika dibiarkan kerugian itu akan semakin dalam. Harus ada stop
lostdan harus disiplin.
Jadi itu yang selalu Bapak terapkan?
Iya. Jika saya sudah ada untung, 50% dari keuntungan itu
saya simpan, tidak di-trading-kan lagi, karena suatu saat mungkin akan
dibutuhkan untuk rescue. Sedangkan yang 50% sisanya, sayatrading-kan.
Jadi, yang 50% boleh hilang, tapi saya tetap punya keuntungan yang 50% lagi.
Jadi jangan sampai jika dapat keuntungan, lalu semua atau 100% dari keuntungan
itu di-trading-kan kembali.
Apakah Bapak pernah rugi?
Tentu pernah. Saat dikeluarkannya Jimmy Carter Bonds tahun
1980-an, saya melakukan short(posisi jual) dolar AS. Padahal teman saya
dari Citibank AS sudah memperingatkan agar saya jangan
melakukan short dolar. Saat itu setiap kali short dolar
biasanya saya untung, karena pasarnya memang begitu. Jadi, sebelum akhir pekan
saya short US$ 2 juta, saya ingat saya ambil posisi jual di 185 dan
berharap harga turun.
Tiba-tiba keluarlah Jimmy Carter dengan Carter Bonds-nya.
Dolar langsung naik dan pada hari Senin setelah akhir pekan, dolar sudah di
posisi 250. Memang akhirnya turun lagi, tapi teman saya itu hebat. Dia katakan
pada saya, “Saya tahu kamu short dolar, saya sudah beli dolar buat
kamu, ini ada US$ 5 juta, bukukan saja. Dengan US$ 5 juta kamu bisa keluar dari
kerugian kamu.” Itulah teman saya.
Maka di tahun 1998, yang saya perbuat sama seperti apa yang
teman saya perbuat untuk saya. Saya cover kerugian orang. Kalau tidak
begitu, saya juga akan sulit menagih kepada para nasabah itu nantinya. Itu
karena saya belajar dari teman saya. Dalam kedudukan saya, saya membantu orang.
Saya juga dibantu.
Saat ini mata uang asing apa yang menurut Bapak masih cukup
aman untuk trading?
Menurut saya dolar Australia (AU$). Orang bisa main
opsi double currency antara AU$ dan US$. Misalnya sekarang ada di
level 103, kami bisa pasang jual di 105, jika target tersebut kena, tinggal
eksekusi. Tapi jika tidak, ya kami dapat bunga. Saya pikir lebih aman,
setidaknya kami masih bisa dapat 4% bunga.
Apakah Bapak masih aktif mengelola dana orang lain?
Pernah ada yang tanyakan soal itu, tapi saya bilang saya mau
tidur nyenyak. Kalau dana itu milik saya sendiri tentu terserah saya, tidak
masalah jika rugi. Tapi mengelola dana orang kan tidak bisa begitu.
Do & Don’t dalam hal Trading di Pasar
Uang
Do:
> Harus jujur.
> Harus disiplin, memiliki target stop lost.
> Gunakan 50% saja dari keuntungan
untuk trading kembali.
> Pilih mata uang yang risikonya kecil.
> Pilih waktu yang tepat untuk ambil posisi.
Don’t:
> Jangan menggunakan seluruh keuntungan yang diperoleh
untuk trading kembali.
> Hindari bermain asal-asalan
seperti gambling (tanpa perhitungan).
> Jangan memasang spread yang terlalu lebar.
No comments:
Post a Comment