Wednesday 19 September 2012

KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN DI INDONESIA


Kebijakan moneter sebagai salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro pada dasarnya merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar agar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam suatu sistem perekonomian. Melalui pengendalian jumlah uang beredar tersebut diharapkan dapat dicapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi tanpa menyebabkan terjadinya inflasi akibat bertambahnya jumlah uang yang beredar yang mendorong permintaan barang-barang atau disebut demand pull inflation.

Sasaran kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh otoritas moneter di Indonesia pada prinsipnya adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga dan tingkat bunga, dan keseimbangan neraca pembayaran serta untuk mencapai pemenuhan kesempatan kerja. Perencanaan moneter tersebut dibuat Bank Indonesia dalam bentuk program moneter yang pada dasarnya merupakan perencanaan jumlah uang yang akan beredar pada periode tertentu atas dasar asumsi-asumsi tertentu. Program moneter tersebut memberikan kerangka dasar mengenai rencana yang perlu dicapai oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas pengendalian moneternya. Selanjutnya berdasarkan program moneter tersebut dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan besar-besaran moneter yang dijadikan target. Bank Indonesia secara rutin mengeluarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia baik secara mingguan maupun bulanan disamping Laporan Tahunan Bank Indonesia. Laporan statistik tersebut memberikan informasi mengenai posisi antara lain sebagai berikut:
a)      Neraca otoritas moneter
b)      Jumlah uang beredar
c)      Neraca gabungan perbankan
d)      Posisi likuidasi perbankan
e)      Kegiatan mobilisasi dana masyarakat
f)       Posisi kredit perbankan
g)      Suku bunga
h)      Pasar uang dan modal
i)        Keuangan pemerintah
j)        Neraca pembayaran
k)      Produk domestik bruto
l)        Jumlah penanaman modal dalam dan luar negeri
m)    Indeks harga
n)      Indikator ekonomi dan moneter internasional

Selanjutnya dari kegiatan pemantauan dapat diketahui apaka  target besar-besaran moneter tersebut dapat dicapai, kurang dari yang ditargetkan atau bahkan telah melampaui.

Konsep Uang Beredar dan Pengendaliannya
Pengertian uang beredar yang umum digunakan di Indonesia dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu uang beredar dalam arti sempit atau disebut juga narrow money (M1) dan uang beredar dalam arti luas atau broad money (M2). M1 terdiri atas uang kartal yang beredar di masyarakat (tidak termasuk uang kartal yang ada di bank) ditambah dengan uang giral. M2 merupakan penjumlahan dari M1 ditambah tabungan dan deposito berjangka atau disebut juga uang kuasi (quasi money).
Strategi pengendalian uang beredar dirumuskan berdasarkan penyesuaian instrumen kebijakan moneter antara lain operasi pasar terbuka, penyesuaian ketentuan likuiditas wajib minimum (reserve requirement), fasilitas diskonto. Di negara-negara industri, pengendalian uang beredar dilakukan dengan menggunakan besaran moneter seperti jumlah uang beredar atau tingkat bunga jangka panjang sebagai target antara (intermediate target).
Permasalahan yang krusial atas penggunaan strategi pengendalian moneter antara lain adalah memilih besaran moneter yang ada, target antara mana yang bisa digunakan dalam pengendalian moneter dimasa yang akan datang dalam situasi yang penuh ketidak pastian. Agregat atau besaran-besaran moneter yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk dipilih sebagai target antara dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu:
a)     Jumlah uang beredar, kredit perbankan, uang primer (likuiditas wajib perbankan dan digolongkan sebagai M0), deposito atau disebut monetary target, dsb
b)     Penghasilan yang diperoleh dari agregat moneter seperti tingkat uang pinjaman bank atau surat berharga pemerintah.
Sementara itu, di Indonesia sejak digunakannya target antara dalam pengendalian moneter maka variabel agregat moneter yang digunakan adalah jumlah uang beredar meliputi uang primer (M0), M1 dan M2. Alasan kenapa jumlah uang beredar lebih disukai dari suku bunga jangka panjang sebagai target atara didasarkan pada alasan historis.


Kebijakan Pengendalian Uang Beredar
Strategi pengendalian moneter sebelum dan setelah era deregulasi (1983) pada prinsipnya tidak bberbeda dengan cara pengendalian sebelum deregulasi dalam arti bahwa kebijakan pengendalian moneter didasarkan pada penggunaan target moneter sebagai target antara. Namun diantara kedua cara pengendalian tersebut terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya meliputi antara lain:

Target moneter
Dalam kurun waktu sebelum deregulasi 1983, target utama yang digunakan adalah broad money yaitu jumlah uang beredar dalam arti luas (M2). Sementara setelah deregulasi, target antara yang digunakan tidak hanya M2 tapi juga narrow money yaitu uang beredar dalam arti sempit (M1).

Target operasional
suatu besaran yang memiliki hubungan dengan target antara. Sebelum deregulasi target operasional yang digunakan adalah aktiva domestik netto perbankan atau sering juga disebut total kredit perbankan. Sementara setelah deregulasi target operasional yang digunakan adalah agregat cadangan atau tingkat bunga jangka pendek.

Pencapaian target operasional
 Sebelum deregulasi pengendalian moneter dilakukan secara langsung di mana target operasional ditentukan secara administratif. Instrumen kebijakan moneter yang digunakan meliputi pagu atau ceiling kredit, pagu tingkat buga, alokasi kredit terutama pada sektor-sektor yang berprioritas tinggi.

Instrumen Kebijakan Moneter
Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang diawali dari krisis rupiah yang terjadi pada pertengahan 1997 kemudian diikuti dengan krisis moneter dan segera menjadi krisis ekonomi sejak akhir 1997, perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir apabila diamati terlihat semakin meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan ekonomi makro. Indikasi tersebut dapat tercermin dari semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin meningkatnya aliran masuk modal asing.
Kegiatan ekonomi Indonesia dalam tahun 1996 juga masih cukup kuat. Masih kuatnya kegiatan ekonomi domestik ini juga akan mendorong tetap tingginya permintaan masyarakat terhadap likuiditas. Keadaan ini apabila tidak dikendalikan secara hati-hati akan menghasilkan pertumbuhan besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang apabila dibiarkan akan menyebabkan tekanan-tekanan pada harga dan neraca pembayaran.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks pengendalian moneter tidak cukup dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen saja. Berbagai instrumen kebijakan moneter yang digunakan Bank Indonesia untuk mempengaruhi besar-besaran moneter antara lain sebagai berikut:

Operasi pasar terbuka
Ini dilakukan melalui penjualan dan pembelian surat berharga SBI dan SBPU. Untuk lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga saat ini dikenal SBI repo dan SBPU repo.

Fasilitas diskonto
Fasilitas diskonto ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan pendananya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjaminan surat berharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat dipergunakan adalah SBI dan atau SBPU yang diendos oleh bank lain.

Giro Wajib Minimum (GWM)
Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988 Bank Indonesia menggunakan GWM untuk mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi yaitu dengan menetapkan GWM menjadi 3% pada Februari 1996 (ketentuan likuiditas wajib minimum sebelumnya menurut Pakto 1988 adalah 2%). GWM pada dasarnya adalah sejumlah minimum dana yang harus selalu tersedia pada saldo giro setiap bank pada Bank Indonesia. Keharusan menyediakan sejumlah minimum dana ini juga disebut likuiditas wajib minimum (statutory reserve requirement) yang saat ini sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang dihimpun berlaku sejak April 1997.

Persuasi moral
Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau mengimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit yang realitas. Kebijakan persuasi moral atau moral suasion ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme pasar.

Kebijakan Moneter dan Perbankan
Perkembangan moneter dan perbankan di Indonesia sejak orde baru pada dasarnya dapat digolongkan dalam 3 periode, yaitu:
1.      Periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi
Kebijakan moneter dan perbankan pada periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi di awal orde baru pada dasarnya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan saat itu. meskipun tidak ada angka inflasi yang pasti dan disepakati namun berbagai pengamat memperkirakan tingkat inflasi berkisar 650% pertahun, suatu angka yang fantastis dibandingkan dengan kondisi perekonomian negara-negara tetangga saat itu. Untuk menghambat laju inflasi tersebut pemerintah mengupayakan pengendalian tingkat inflasi kebatas yang lebih aman, meningkatkan ekspor, dan mencukupkan sandang bagi masyarakat. Dalam rangka mengendalikan inflasi diambil dua kebijakan pokok. Pertama mengubah kebijakan anggaran defisit menjadi anggaran berimbang. Kedua, menjalankan kebijakan kredit yang sangat ketat dan kualitatif. Pada periode ini pula pemerintah, sebagai bagian dari penataan kembali ekonomi, dilakukan pula penataan sistem perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.

2.      Periode saat ekonomi ditunjang sektor minyak
Kebijakan pemerintah dalam upaya mobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan disertai dengan penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang berbunga rendah memperbesar kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit. Penyediaan KLBI dalam jumlah besar akibat besarnya penerimaan negara dari hasil ekspor minyak pada pertengahan dekade 1970-an yang dikenal dengan istilah “boom minyak”, mendorong tingginya kembali tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh pada periode boom minyak ini antara lain:
a)      Menetapkan pagu kredit (credit ceiling) dan aktiva lainnya.
b)      Menaikkan bunga kredit.
c)      Menaikkan bunga deposito.
d)      Menaikkan ketentuan cadangan likuiditas wajib.
  
3.      Periode deregulasi perbankan
Memasuki dekade 1980-an ekonomi Indonesia mengalami resesi sebagai da,pak dari resesi dunia. Produk domestik bruto turun drastis menjadi hanya 2,2% dibandingkan rata-rata 7,7% pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan pernah mencapai 9,9% pada tahun 1980. Sementara itu, neraca pembayaran terus meburuk dan bahkan terjadi defisit sebesar USD 1,930 juta pada tahun 1982. Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang semakin memburuk tersebut, pemerintah melakukan perubahan kebijakan di bidang ekonomi termasuk moneter dan perbankan. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah pada saat itu antara lain:
a)     Penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan Maret 1983 dari Rp 700 menjadi Rp 970.
b)     Penjadwalan ulang proyek-proyek yang menggunakan devisa dalam jumlah besar.
c)     Melakukan deregulasi sektor moneter dan perbankan dengan berbagai jenis paket kebijakan.

Pengaturan Bank Dengan Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking)
Struktur pasar keuangan (financial markets) yang sehat ditunjang oleh pelaku pasar yang sehat pula akan membantu berbagai langkah stabilitas ekonomi mencapai sasarannya. Oleh karena itu dibutuhkan pelaku pasar keuangan yang mampu menangkap sinyal-sinyak indikatif yang diisyaratkan otoritas perusahaan. Sejalan dengan itu Bank Indonesia harus terus berupaya meningkatkan profesionalisme pelaku dalam sektor perbankan agar dapat menciptakan bankir yang tangguh dan profesional. Melihat jumlah kantor bank yang semakin bertambah, Bank Indonesia jelas memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan. Untuk itu Bank Indonesia mengembangkan pola pembinaan dan pengawasan yang mengarah pada industri perbankan yang mampu mengatur sendiri dalam menerapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian.

Penilaian Aktiva Produktif
Aktiva produktif atau earning assets perbankan yang dilakukan penilaian adalah mengenai kualitasnya yang meliputi penanaman dana, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing, dalam bentuk kredit dan surat berharga. Dalam rangka melakukan monitoring terhadap kinerja kegiatan bank terutama disisi aktivanya, berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 menetapkan suatu ketentuan yang berkaitan dengan penilaian terhadap penanaman dana bank dalam bentuk aktiva produktif.

Likuidasi Bank
Likuidasi adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan hukum bank. Likuidasi bank dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dan hasil pencairan dan atau penagihan tersebut.
Ketentuan likuidasi bank diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dan atau membahayakan sistem perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan beberapa tindakan yang dipandang perlu.
Suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat. Sedangkan bank yang diperkirakan membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain.

Kondisi Perbankan Era Krisis Moneter
Tahun 1997/1998 merupakan tahun yang terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar yang terjadi pada tahun 1997. Sejak itu, kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam dan berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yang cukup besar. Krisis tersebut berkembang semakin parah karena terdapatnya berbagai kelemahan mendasar di dalam perekonomian nasional terutama di tingkat mikro.
Untuk mengatasi krisis yang semakin dalam, pemerintah telah menempuh berbagai upaya. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut tidak begitu menunjukkan hasilnya karena adanya krisis kepercayaan terhadap kemampuan pengelolaan dan prospek perekonomian semakin melemah. Dengan semakin parahnya krisis yang terjadi, kegiatan intermediasi di sektor keuangan, terutama perbankan, terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai kegiatan investasi dan produksi mengalami berbagai hambatan.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga tercermin pada kerapuhan (fragility) yang terdapat dalam sektor keuangan, khususnya perbankan. Sebagian dari kerapuhan tersebut terkait dengan kondisi makroekonomi yang kurang stabil terutama berupa gejolak nilai tukar rupiah dan tingginya suku bunga. Ketidak stabilan makroekonomi dan respons kebijakan yang diambil pemerintah menyebabkan bank sangat sulit melakukan penilaian yang akurat megenai risiko kredit dan risiko pasar.
Besarnya tekanan arus modal keluar (capital outflow) yang dipicu oleh krisis keuangan di negara-negara tetangga, antara lain misalnya Thailand, telah menyebabkan merosotnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut sangat dipengaruhi oleh permintaan dolar yang semakin besar untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri yang segera jatuh tempo, membiayai impor, serta tujuan-tujuan spekulatif terhadap rupiah. Untuk mengatasi krisis tersebut Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah antara lain melebarkan rentang intervensi nilai tukar rupiah terhadap dollar dari 8% menjadi 12% yang disertai intervensi baik di pasar forward maupun spot. Sistem nilai tukar mengambang bebas diterapkan dan intervensi di pasar valuta asing ditingkatkan.
Sebagai langkah awal dalam rangka penyehatan di bidang perbankan, pada tanggal 1 November 1997, setelah dilakukan penelitian dan pemeriksaan yang cermat oleh Bank Indonesia pemerintah kemudian mencabut izin usaha 16 bank yang dinyatakan insolvent. Upaya ini semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan, telah ditanggapi secara negatiif oleh masyarakat berupa penarikan dana secara besar-besaran dan pemindahan dana dari bank yang dianggap kurang sehat ke bank yang sehat. Perkembangan ini menyebabkan sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga banyak bank yang melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum. Sejumlah bank bahkan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Untuk menghindari terjadinya dampak berantai (contageon effect) terhadap bank-bank lain yang pada gilirannya menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap sistem perbankan secara keseluruhan (systematic risk).

Kebijakan Pemulihan Perbankan
Dengan terus menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan kian meningkatnya penarikan dana masyarakat dari perbankan disamping bertambahnya jumlah non performing assets terutama portofolio kredit bank (non performing loan), semakin memperburuk kondisi perbankan. Jumlah bank yang mengalami kesulitan semakin bertambah yang berakhir dengan pengambilalihan atau bank take over (BTO), pembekuan kegiatan operasional (BBO) atau bank beku kegiatan usaha (BBKU).
Menyadari bahwa krisis yang terjadi telah semakin memburuk, pemerintah mempercepat dan memperluas cakupan program stabilisasi reformasi ekonomi dengan melakukan penandatanganan memorandum kesepakatan (letter of intent) dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Khusus untuk moneter, pemerintah mengarahkan kebijakan pada upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada perbankan.

Program Penjaminan Terhadap Kewajiban Perbankan
Dalam ragka usaha pemulihan kepercayaan para deposan dan kreditur baik dalam negeri maupun luar negeri terhadap sistem perbankan Indonesia dan dalam rangka membangun kembali sistem perbankan yang sehat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemerintah menetapkan untuk melaksanakan program yang komprehensif pemulihan sistem perbankan. Program ini meliputi dua unsur utama, yaitu. Pertama, penyediaan jaminan penuh oleh pemerintah kepada seluruh nasabah deposan dan kreditur bank umum nasional. Kedua, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Nasional. Program penjaminan ini pada dasarnya adalah pemerintah menjamin seluruh dana masyarakat deposan dan kreditur bank yang berbadan hukum Indonesia dijamin pengembaliannya oleh pemerintah. Jaminan berlaku atas kewajiban baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan tersebut berlaku sama untuk bank swasta maupun bank pemerintah. Jaminan tersebut berlaku pula untuk bank-bank yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger, akuisisi, konsolidasi dan sebagainya).

Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh gejolak moneter dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya terhadap sistem perbankan nasional, pemerintah telah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada seluruh deposan dan kreditur sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Sebagai pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank tersebut di atas, maka dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank, dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 27 Januari 1998 dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 yang kemudian dikukuhkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Sebagai tindak lanjut dari pendirian BPPN, pihak BPPN dan Bank Indonesia sebagai pengawas bank telah bekerjasama menetapkan suatu kebijakan strategis yang komprehensif dalam penyehatan bank. Penjabaran kebijakan tersebut dilakukan sejalan dengan jaminan yang telah diberikan pemerintah atas keamanan dana para deposan dan kreditur bank.

Program Rekapitalisasi Perbankan
Program restrukturisasi yang merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan kondisi perbankan yang terpuruk sebagai dampak dari krisis moneter yang berkepanjangan sehingga menjadi krisis ekonomi. Sejak berlangsungnya krisis eknonomi, sektor perbankan menghadapi berbagai masalah yang cukup serius. Pada akhir tahun 1997 dan awal 1998, seperti telah dijelaskan sebelumnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merosot dengan pesat, para deposan dan penabung melakukan penarikan bersamaan (rush), bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Hal tersebut semakin meningkatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap perbankan yang jelas dapat menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan nasional, yang pada gilirannya akan mengakibatkan macetnya sistem pembayaran dan perekonomian. Untuk menghindari kemungkinan itu, maka pada akhir Januari 1998 ditempuh kebijakan penyelamatan dengan memberikan jaminan kepada para penabung, deposan dan kreditur bank. Dengan kebijakan ini maka bank-bank yang mengalami likuiditas dapat meminta bantuan likuiditas dari Bank Indonesia (BLBI).

Tahapan rekapitulasi. Tahapan-tahapan dalam rangka pelaksanaan program rekapitulasi meliputi pemeriksaan kondisi keuangan bank (due diligence), pengelompokan bank atas dasar kondisi permodalannya, penilaian terhadap rencana kerja (business plan) bank, penilaian fit and proper test pemegang saham pengendali dan pengurus bank, serta penyetoran modal dan pengikatan perjanjian bagi bank-bank yang memenuhi persyaratan.



No comments:

Post a Comment