Wednesday 3 October 2012

Pro-kontra tentang Keharaman Bunga Bank Konvensional


MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terbuka soal bunga bank. Melalui Ketua Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin, lembaga kumpulnya para ulama itu menyatakan soal haramnya bunga bank konvensional.
Tentu masalah itu akan mengundang pendapat di masyarakat. Pasalnya masih terjadi khilafiyah (perbedaan) soal hukumnya, yaitu ada yang mengharamkan dan membolehkan. Artinya, jangan sampai muncul hanya satu paham yang benar diakui oleh satu lembaga keagamaan dengan tidak melihat realitas perbedaan yang muncul.
Dalam hal yang masih khilaf, banyak kalangan berharap, mestinya lembaga resmi yang disahkan Pemerintah itu juga tetap memberi porsi bagi mereka yang tidak sepaham. Artinya, menghormati juga kepada mereka, sehingga tidak kecil hati karena merekalah yang salah.
Masuk akal alasan Makruf Amien soal alasan darurat setelah munculnya sejumlah bank Syariah. "Sekarang ini sudah banyak bank syariah. Jadi keadaannya sudah tidak darurat lagi, seperti di masa lalu," ujar Ma'ruf Amien.
Secara rinci di mencontohkan pada 1990 dari hasil Lokakarya Ulama mengenai bunga bank konvensional, MUI menyatakan bunga bank haram dan menjadi landasan bagi perlu didirikannya suatu bank syariah (ketika itu Bank Muamalat kemudian berdiri).
Pada 2000, Dewan Syariah Nasional kemudian mengeluarkan fatwa yang menegaskan soal bunga bank. Namun hanya berbunyi: bunga bank tidak sesuai dengan Syariah. Sedangkan Ijtma Ulama kali ini, dilatarbelakangi sudah adanya 13 bank syariah yang sebenarnya tinggal mensinergikannya saja, serta bagaimana bermuamalah (berhubungan) dengan bank-bank konvensional.
"Soal itu mari menunggu Ijtma para ulama," kata Ma'ruf. Bank-bank syariah yang ada saat ini ada tiga jenis, yakni bank syariah yang berdiri sendiri, bank syariah yang merupakan konversi dari bank konvensional dan bank konvensional yang membuka divisi syariah.
Namun demikian tetap saja akan menimbulkan pro dan kontra, menyusul masih munculnya dua pendapat antara yang menghalalkan maupun mengharamkan. Tak berlebihan untuk mengantisipasi melebarnya pro dan kontra itu, Wapres Hamzah Haz menetralisir, pendapat ulama bahwa bunga bank hukumnya haram tidak perlu dipersoalkan, karena umat Islam punya beberapa altenatif dalam urusan perbankan.
"Tidak soal itu, karena ada bank syariah," kata Wapres kepada wartawan di kantornya, Istana Wapres, Jakarta, Selasa, mengenai rakernas MUI tahun 2003 dan Ijtma Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia pada 14-16 Desember yang membahas masalah bunga bank.
Belum Sependapat
Wapres mengatakan, bagi masyarakat yang menilai bunga bank itu haram, di Indonesia sekarang sudah banyak bank syariah di samping bank konvensional. Dengan demikian, masyarakat tetap mempunyai pilihan untuk tetap menggunakan jasa perbankan dengan halal.
Dia mengatakan, soal bunga bank tersebut masih banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama. "Kecuali yang berlebihan, seperti rentenir," ujar Wapres.
Wapres juga menjelaskan, selama ini hukum perbankan di Indonesia berlaku universal, dan peraturan-peraturannya tidak hanya lokal di Indonesia. Dalam hal soal bunga bank konvensional, dua ormas Islam besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah menyatakan belum sependapat tentang fatwa terbuka yang mengharamkan bunga bank konvensional.
Harus dipikirkan masak-masak soal itu. Mengeluarkan fatwa terbuka yang mengharamkan bunga bank konvensional, seharusnya dipikirkan terlebih dulu berbagai dampak positif dan negatif yang bisa ditimbulkan, termasuk di antaranya kemungkinan timbulnya rush atau penarikan dana besar-besaran dari bank konvensional.
Selama ini, banyak umat Islam yang menabung di perbankan konvensional yang berbasis riba. Apalagi jangkauan perbankan syariah belum meluas, sehingga masih diperbolehkan karena masih berpegang pada darurat. Contohnya, soal Siskohat Haji, Departemen Agama (Depag) masih menggunakan jasa bank konvensional.
Apabila fatwa MUI itu dikeluarkan, tidak boleh ada lagi pemakluman akibat keadaan darurat tersebut. Karenanya benar-benar harus dikaji sampai sejauh mana kesiapan bank syariah yang ada, terus pandangan masyartakat sendiri yang masih beragam soal hukum bunga bank konvensional.
Berdasarkan pertimbangan itu, sejak awal tidak semua ulama MUI setuju terhadap niat Dewan Syariah Nasional untuk mengeluarkan fatwa terbuka tentang bunga bank dan perbedaan pendapat yang terjadi. Fatwa itu tidak akan keluar sampai terjadi kesepakatan dan pemahaman bulat di kalangan ulama.
Tentang mengumumkan status bunga bank menurut syariat Islam akan menjadi dasar dan pedoman untuk mengeluarkan fatwa terbuka tentang bunga bank.
Bagiamana pandangan Muhammadiyah sendiri. Menurut catatan, Majelis Tarjih Muhammadiyah, lembaga yang memutuskan hukum, dalam beberapa kali sidangnya tahun 1968, 1972, 1976 dan 1989, juga tidak berhasil menetapkan secara tegas keharaman bunga bank.
Walaupun menyatakan bank dengan sistem riba itu haram, tetapi majelis berpandangan bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkaramusytabihat (tidak tentu halal-haramnya)
Dari sebagian ulama NU, seperti Masdar F Masudi, juga menyatakan tidak setuju terhadap fatwa haram bunga bank konvensional. Apalagi di kalangan ulama NU masih menilai bunga bank tidak selalu identik dengan riba. Karenanya tidak bisa dinyatakan secara umum bahwa bunga bank itu haram.
Bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba, apabila bunga tersebut merupakan bagian dari modal. Bunga menjadi bagian dari modal, apabila jumlahnya sesuai atau untuk mengkompensasi tingkat inflasi yang terjadi yang mengurangi nilai uang yang ada.
Adapun bunga dapat dikategorikan sebagai riba, menurut Masdar, apabila jumlahnya melebihi inflasi atau penurunan nilai mata uang yang terjadi. Dalam contoh di atas, maka bunga dikatakan riba apabila jumlahnya mencapai misalnya 15 persen atau 5 persen diatas inflasi yang 10 persen. Kelebihan 5 persen itu yang dikatagorikan riba.
Konsep penurunan nilai mata uang atau time value of money ini, menuruit Masdar, sebelumnya tidak dikenal dalam Islam, karena mata uang Islam dinar menggunakan emas yang tidak inflatoir. Tetapi karena sistem mata uang kertas yang ada sekarang, maka inflasi bisa terjadi dan itu harus diakui dan diterima.
Karenanya, Masdar menilai tidak bisa diberlakukan fatwa terbuka yang berlaku secara umum. Mungkin perlu dijelaskan bagaimana sistem bunga bank konvensional di setiap bank. Artinya tidak bisa digebyah- uyah seluruh bunga konvensional haram. Harus dilihat kasus per kasus.
Soal fatwa terbuka tentang bunga bank, yang harus dipertimbangkan kemungkinan adanya pandangan yang berbeda dari para ulama NU mengenai hukum bunga bank.
Selama ini, Lajnah Bahsul Masail, lembaga ijtihad milik NU yang memutuskan status hukum terhadap berbagai masalah kemasyarakatan, dalam sidangnya di Bandar Lampung tahun 1982, tidak berhasil menyepakati hukum bunga bank itu haram.
Dalam sidang itu, terdapat tiga pandangan para ulama NU. Pertama, yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram. Kedua, yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh dan ketiga, yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Kedua ormas Islam terbesar itu tidak memberi vonis dengan satu keputusan terbuka. Tidak bisa mengambil langkah voting untuk mengambil keputusan satu kata haram atau halal, karena harus menghormati perbedaan yang ada di internal organisasi itu sendiri.
Tanpa pertimbangan pandangan yang masih beda di kalangan organisasi Islam sendiri, apakah cukup efektif secara terbuka menyatakan fatwa seperti itu dengan segala risiko yang bakal ditimbulkan. Atau mungkin malah muncul tuduhan yang baik atas lembaga itu ketika memberikan fatwa salah satu produk bumbu masak, atau fatwa mengharamkan pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri, yang tak pernah dihiraukan, dan jalan terus. (A.Adib-64).

Kartu Kredit Syariah: Kartu Kredit Tanpa Bunga
Kegiatan sistem pembayaran dengan alat pembayaran yang berupa kartu telah berkembang di seluruh sektor bisnis. Kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dalam memenuhi kegiatan ekonomi saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Salah satu alat pembayaran yang berupa kartu tersebut adalah kartu kredit.Bisnis kartu kredit ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah kartu yang beredar saat ini telah mencapai lebih dari 12 juta kartu kredit yang diterbitkan oleh 21 bank dan lembaga pembiayaan. Terdapat ribuan merchant di seluruh Indonesia yang bisa melayani transaksi kartu kredit yang didukung dengan piranti gesek kartu atau electronic data capture (EDC).
Bahkan saat ini jenis kartu kredit yang beredar telah ada yang menggunakan sistem syariah. Setidaknya ada 2 (dua) bank syariah yang telah menerbitkan kartu kredit syariah, yakni BNI Syariah dengan nama produk Hasanah Card dan Danamon Syariah dengan nama produk Dirham.
Memang penerbitan kartu kredit syariah ini sempat menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa bank syariah tidak perlu ikut-ikutan menerbitkan produk kartu kredit, karena bisnis kartu kredit kurang sejalan dengan prinsip syariah karena akan mendorong masyarakat untuk bersifat konsumtif dan banyak dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari pro kontra yang muncul, yang jelas Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa mengenai kartu kredit syariah.
Dasar yang dipakai dalam penerbitan kartu kredit syariah adalah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.54/DSN-MUI/X/2006 mengenai syariah card. Dalam fatwa tersebut yang dimaksud dengan syariah card adalah kartu yang berfungsi sebagai Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa. Para pihak yang terlibat dalam penggunaan kartu kredit syariah tersebut adalah sama dengan kartu kredit konvensional, yakni penerbit kartu atau bank (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) atau nasabah serta penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
Kartu kredit dapat didefinisikan merupakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi dahulu oleh acquirer atau penerbit. Atas transaksi tersebut maka pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus atau secara angsuran.
Mekanisme transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit syariah sama dengan kartu kredit konvensional. Bahkan prasarana yang digunakan untuk menjalankan transaksi kartu kredit syariah ini juga sama dengan kartu kredit konvensional, misalnya mesin EDC, ATM, dsb. Yang membedakan dalam kartu kredit syariah adalah akad atau perjanjian yang digunakan.
Tentunya perjanjian atau akad yang mendasari penerbitan kartu kredit syariah ini berbeda dengan kartu kredit konvensional. Kalau dalam kartu kredit konvensional nasabah akan dikenakan bunga yang merupakan sumber utama pendapatan, maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak boleh dikenakan instrumen yang berupa bunga.

Akad Kartu Kredit Syariah
Setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis akad dalam kartu kredit syariah, yakni akad kafalah, qard danijarah. Dalam akad kafalah, bank sebagai penerbit kartu bertindak sebagai penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan merchant, dan atau penarikan tunai selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa merchant bertindak sebagai pihak penerima jaminan dari bank berdasar prinsip kafalah. Atas pemberian kafalah ini, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah) dari pemegang kartu.
Kemudian dalam akad qard bank sebagai penerbit kartu bertindak selaku pemberi pinjaman (muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu. Sedangkan akad yang lainnya adalah akad ijarah dimana penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas akad ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership fee. Semua fee yang ditetapkan pada kartu kredit syariah harus dinyatakan jumlahnya pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan nilainya tetap, kecuali untuk merchant fee.
Dengan demikian pemegang kartu kredit syariah akan dikenakan annual membership fee atau iuran tahunan atas dasar akad ijarah dan juga akan dikenakan monthly membership fee atau iuran bulanan atas dasar akad kafalah. Iuran bulanan ini nilainya tetap setiap bulan dan nilainya didasarkan atas nilai plafond kartu kredit syariah nasabah yang bersangkutan. Kalau di kartu kredit konvensional tidak ada iuran bulanan, Namun nasabah akan dikenakan bunga atas setiap transaksi yang dilakukan.
Misalnya nasabah yang plafondnya Rp 10 juta dalam kartu kredit syariah nasabah tersebut akan dikenakan iuran bulanan Rp 250 ribu. Agar kartu kredit syariah ini tetap menarik dimata pemegang kartu maka bank akan memberikan cash rebate atau cash reward sesuai dengan pola transaksi yang dilakukan oleh nasabah. Sehingga jika nasabah menggunakan kartu kredit syariah untuk pembelanjaan, maka bank akan memberikan cash rebate atau cash reward atas dasar pola pembelanjaan dan pembayarannya. Dengan demikian dalam kartu kredit syariah ini tidak ada instrumen bunga. Kalau dalam kartu kredit konvensional, nasabah akan langsung dikenakan bunga yang nilainya 3-4% per bulan atas transaksi yang dilakukannya.
Dalam kartu kredit syariah, nasabah dapat melakukan penarikan tunai melalui ATM dengan akad qard. Karena tidak menggunakan instrument bunga, maka nasabah tidak akan dikenakan bunga, namun dikenakan fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas ATM yang besarnya fee tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. Nasabah yang menarik uang di ATM sebesar Rp 1 juta, fee yang dikenakan dapat sama dengan yang narik Rp 500 ribu. Kalau di kartu kredit konvensional, setiap penarikan di ATM akan dikenakan biaya administrasi dan bunga sampai dengan 4% yang dihitung secara harian dari jumlah yang ditarik di ATM.
Perbedaan lain dengan kartu kredit konvensional adalah perlakukan pengenaan denda bagi nasabah yang mengalami keterlambatan dalam pembayaran kartu yang jatuh tempo dan atau pemakaian kartu yang melampaui batas limit. Jika dalam kartu kredit konvensional denda keterlambatan dapat diakui seluruhnya sebagai sumber pendapatan bank, bahkan merupakan sumber pendapatan yang cukup besar, maka dalam kartu kredit syariah jika nasabah dikenakan denda, maka denda tersebut tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank, namun harus diberlakukan sebagai dana sosial. Bank hanya boleh mengakui biaya penagihan (ta’widh) yang nilainya sesuai dengan kerugian riil yang terjadi akibat penagihan yang dilakukan oleh bank. Misalnya dalam penagihan, bank menghubungi nasabah melalui telepon atau mendatanginya, maka biaya riil yang akibat penagihan ini dapat dibebankan kepada nasabah. Teknik dalam penagihannya pun harus memperhatikan aspek syariah, tidak boleh sama dengan kartu kredit konvensional.
Jika dalam kartu kredit konvensional tidak ada pembatasan dalam penggunaannya asal masih dibawah plafond limitnya, nasabah boleh sesuka hati melakukan pembelanjaan termasuk belanja barang yang non halal, seperti minuman keras, dsb. Maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak diperkenankan untuk melakukan transaksi yang tidak sesuai syariah. Terus bagaimana bank bisa mengetahui atau mengontrol bahwa pemegang kartu benar-benar melakukan transaksi yang tidak bertentangan dengan syariah, mengingat mesin EDC-nya masih jadi satu dengan kartu kredit konvensional.
Memang untuk kartu kredit syariah idealnya kita memiliki global provider syariah serta mempunyai mesin EDC sendiri yang ditempatkan di merchant-merchant, sehingga penggunaan kartu kredit syariah akan benar-benar syariah. Namun mengingat investasi yang sangat tinggi maka untuk saat ini aturan ini akan dituangkan pada saat nasabah mengisi aplikasi kartu kredit syariah, dimana nasabah membuat pernyataan untuk menggunakan kartu kredit untuk transaksi yang diperbolehkan secara syariah. Jika nasabah belanja barang yang non halal menggunakan kartu kredit, maka menjadi tanggungan pihak nasabah.

No comments:

Post a Comment