MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa
terbuka soal bunga bank. Melalui Ketua Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin, lembaga
kumpulnya para ulama itu menyatakan soal haramnya bunga bank konvensional.
Tentu masalah itu akan mengundang pendapat di masyarakat.
Pasalnya masih terjadi khilafiyah (perbedaan) soal hukumnya, yaitu ada yang
mengharamkan dan membolehkan. Artinya, jangan sampai muncul hanya satu paham
yang benar diakui oleh satu lembaga keagamaan dengan tidak melihat realitas
perbedaan yang muncul.
Dalam hal yang masih khilaf, banyak kalangan berharap,
mestinya lembaga resmi yang disahkan Pemerintah itu juga tetap memberi porsi
bagi mereka yang tidak sepaham. Artinya, menghormati juga kepada mereka,
sehingga tidak kecil hati karena merekalah yang salah.
Masuk akal alasan Makruf Amien soal alasan darurat setelah
munculnya sejumlah bank Syariah. "Sekarang ini sudah banyak bank syariah.
Jadi keadaannya sudah tidak darurat lagi, seperti di masa lalu," ujar
Ma'ruf Amien.
Secara rinci di mencontohkan pada 1990 dari hasil Lokakarya
Ulama mengenai bunga bank konvensional, MUI menyatakan bunga bank haram dan
menjadi landasan bagi perlu didirikannya suatu bank syariah (ketika itu Bank
Muamalat kemudian berdiri).
Pada 2000, Dewan Syariah Nasional kemudian mengeluarkan
fatwa yang menegaskan soal bunga bank. Namun hanya berbunyi: bunga bank tidak
sesuai dengan Syariah. Sedangkan Ijtma Ulama kali ini, dilatarbelakangi sudah
adanya 13 bank syariah yang sebenarnya tinggal mensinergikannya saja, serta
bagaimana bermuamalah (berhubungan) dengan bank-bank konvensional.
"Soal itu mari menunggu Ijtma para ulama," kata
Ma'ruf. Bank-bank syariah yang ada saat ini ada tiga jenis, yakni bank syariah
yang berdiri sendiri, bank syariah yang merupakan konversi dari bank
konvensional dan bank konvensional yang membuka divisi syariah.
Namun demikian tetap saja akan menimbulkan pro dan kontra,
menyusul masih munculnya dua pendapat antara yang menghalalkan maupun
mengharamkan. Tak berlebihan untuk mengantisipasi melebarnya pro dan kontra
itu, Wapres Hamzah Haz menetralisir, pendapat ulama bahwa bunga bank hukumnya
haram tidak perlu dipersoalkan, karena umat Islam punya beberapa altenatif
dalam urusan perbankan.
"Tidak soal itu, karena ada bank syariah," kata
Wapres kepada wartawan di kantornya, Istana Wapres, Jakarta, Selasa, mengenai
rakernas MUI tahun 2003 dan Ijtma Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
se-Indonesia pada 14-16 Desember yang membahas masalah bunga bank.
Belum Sependapat
Wapres mengatakan, bagi masyarakat yang menilai bunga bank
itu haram, di Indonesia sekarang sudah banyak bank syariah di samping bank
konvensional. Dengan demikian, masyarakat tetap mempunyai pilihan untuk tetap
menggunakan jasa perbankan dengan halal.
Dia mengatakan, soal bunga bank tersebut masih banyak
perbedaan pendapat di kalangan ulama. "Kecuali yang berlebihan, seperti
rentenir," ujar Wapres.
Wapres juga menjelaskan, selama ini hukum perbankan di
Indonesia berlaku universal, dan peraturan-peraturannya tidak hanya lokal di
Indonesia. Dalam hal soal bunga bank konvensional, dua ormas Islam besar,
seperti Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah menyatakan belum sependapat
tentang fatwa terbuka yang mengharamkan bunga bank konvensional.
Harus dipikirkan masak-masak soal itu. Mengeluarkan fatwa
terbuka yang mengharamkan bunga bank konvensional, seharusnya dipikirkan
terlebih dulu berbagai dampak positif dan negatif yang bisa ditimbulkan,
termasuk di antaranya kemungkinan timbulnya rush atau penarikan dana
besar-besaran dari bank konvensional.
Selama ini, banyak umat Islam yang menabung di perbankan
konvensional yang berbasis riba. Apalagi jangkauan perbankan syariah belum
meluas, sehingga masih diperbolehkan karena masih berpegang pada darurat. Contohnya,
soal Siskohat Haji, Departemen Agama (Depag) masih menggunakan jasa bank
konvensional.
Apabila fatwa MUI itu dikeluarkan, tidak boleh ada lagi
pemakluman akibat keadaan darurat tersebut. Karenanya benar-benar harus dikaji
sampai sejauh mana kesiapan bank syariah yang ada, terus pandangan masyartakat
sendiri yang masih beragam soal hukum bunga bank konvensional.
Berdasarkan pertimbangan itu, sejak awal tidak semua ulama
MUI setuju terhadap niat Dewan Syariah Nasional untuk mengeluarkan fatwa
terbuka tentang bunga bank dan perbedaan pendapat yang terjadi. Fatwa itu tidak
akan keluar sampai terjadi kesepakatan dan pemahaman bulat di kalangan ulama.
Tentang mengumumkan status bunga bank menurut syariat Islam
akan menjadi dasar dan pedoman untuk mengeluarkan fatwa terbuka tentang bunga
bank.
Bagiamana pandangan Muhammadiyah sendiri. Menurut catatan,
Majelis Tarjih Muhammadiyah, lembaga yang memutuskan hukum, dalam beberapa kali
sidangnya tahun 1968, 1972, 1976 dan 1989, juga tidak berhasil menetapkan secara
tegas keharaman bunga bank.
Walaupun menyatakan bank dengan sistem riba itu haram,
tetapi majelis berpandangan bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara
kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk
perkaramusytabihat (tidak tentu halal-haramnya)
Dari sebagian ulama NU, seperti Masdar F Masudi, juga
menyatakan tidak setuju terhadap fatwa haram bunga bank konvensional. Apalagi
di kalangan ulama NU masih menilai bunga bank tidak selalu identik dengan riba.
Karenanya tidak bisa dinyatakan secara umum bahwa bunga bank itu haram.
Bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba, apabila bunga
tersebut merupakan bagian dari modal. Bunga menjadi bagian dari modal, apabila
jumlahnya sesuai atau untuk mengkompensasi tingkat inflasi yang terjadi yang
mengurangi nilai uang yang ada.
Adapun bunga dapat dikategorikan sebagai riba, menurut
Masdar, apabila jumlahnya melebihi inflasi atau penurunan nilai mata uang yang
terjadi. Dalam contoh di atas, maka bunga dikatakan riba apabila jumlahnya mencapai
misalnya 15 persen atau 5 persen diatas inflasi yang 10 persen. Kelebihan 5
persen itu yang dikatagorikan riba.
Konsep penurunan nilai mata uang atau time value of
money ini, menuruit Masdar, sebelumnya tidak dikenal dalam Islam, karena
mata uang Islam dinar menggunakan emas yang tidak inflatoir. Tetapi karena
sistem mata uang kertas yang ada sekarang, maka inflasi bisa terjadi dan itu
harus diakui dan diterima.
Karenanya, Masdar menilai tidak bisa diberlakukan fatwa
terbuka yang berlaku secara umum. Mungkin perlu dijelaskan bagaimana sistem
bunga bank konvensional di setiap bank. Artinya tidak bisa digebyah- uyah
seluruh bunga konvensional haram. Harus dilihat kasus per kasus.
Soal fatwa terbuka tentang bunga bank, yang harus
dipertimbangkan kemungkinan adanya pandangan yang berbeda dari para ulama NU
mengenai hukum bunga bank.
Selama ini, Lajnah Bahsul Masail, lembaga ijtihad milik NU
yang memutuskan status hukum terhadap berbagai masalah kemasyarakatan, dalam
sidangnya di Bandar Lampung tahun 1982, tidak berhasil menyepakati hukum bunga
bank itu haram.
Dalam sidang itu, terdapat tiga pandangan para ulama NU.
Pertama, yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara mutlak, sehingga
hukumnya haram. Kedua, yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba,
sehingga hukumnya boleh dan ketiga, yang menyatakan
hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Kedua ormas Islam terbesar itu tidak memberi vonis dengan
satu keputusan terbuka. Tidak bisa mengambil langkah voting untuk mengambil
keputusan satu kata haram atau halal, karena harus menghormati perbedaan yang
ada di internal organisasi itu sendiri.
Tanpa pertimbangan pandangan yang masih beda di kalangan
organisasi Islam sendiri, apakah cukup efektif secara terbuka menyatakan fatwa
seperti itu dengan segala risiko yang bakal ditimbulkan. Atau mungkin malah
muncul tuduhan yang baik atas lembaga itu ketika memberikan fatwa salah satu
produk bumbu masak, atau fatwa mengharamkan pengiriman Tenaga Kerja Wanita
(TKW) ke luar negeri, yang tak pernah dihiraukan, dan jalan terus. (A.Adib-64).
Kartu Kredit Syariah: Kartu Kredit Tanpa Bunga
Kegiatan sistem pembayaran dengan alat pembayaran yang
berupa kartu telah berkembang di seluruh sektor bisnis. Kebutuhan masyarakat
terhadap penggunaan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dalam memenuhi
kegiatan ekonomi saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Salah
satu alat pembayaran yang berupa kartu tersebut adalah kartu kredit.Bisnis
kartu kredit ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun
terakhir. Jumlah kartu yang beredar saat ini telah mencapai lebih
dari 12 juta kartu kredit yang diterbitkan oleh 21 bank dan lembaga pembiayaan.
Terdapat ribuan merchant di seluruh Indonesia yang bisa melayani transaksi
kartu kredit yang didukung dengan piranti gesek kartu atau electronic data
capture (EDC).
Bahkan saat ini jenis kartu kredit yang beredar telah ada
yang menggunakan sistem syariah. Setidaknya ada 2 (dua) bank syariah yang telah
menerbitkan kartu kredit syariah, yakni BNI Syariah dengan nama produk Hasanah
Card dan Danamon Syariah dengan nama produk Dirham.
Memang penerbitan kartu kredit syariah ini sempat
menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Sebagian kalangan beranggapan
bahwa bank syariah tidak perlu ikut-ikutan menerbitkan produk kartu kredit,
karena bisnis kartu kredit kurang sejalan dengan prinsip syariah karena akan
mendorong masyarakat untuk bersifat konsumtif dan banyak dampak negatif yang
ditimbulkannya. Terlepas dari pro kontra yang muncul, yang jelas Dewan Syariah
Nasional telah mengeluarkan fatwa mengenai kartu kredit syariah.
Dasar yang dipakai dalam penerbitan kartu kredit syariah
adalah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.54/DSN-MUI/X/2006 mengenai syariah
card. Dalam fatwa tersebut yang dimaksud dengan syariah card adalah
kartu yang berfungsi sebagai Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan
sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana diatur dalam fatwa. Para pihak yang terlibat dalam penggunaan kartu
kredit syariah tersebut adalah sama dengan kartu kredit konvensional, yakni
penerbit kartu atau bank (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil
al-bithaqah) atau nasabah serta penerima kartu (merchant,
tajir atau qabil al-bithaqah).
Kartu kredit dapat didefinisikan merupakan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi
pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban
pembayaran pemegang kartu dipenuhi dahulu oleh acquirer atau
penerbit. Atas transaksi tersebut maka pemegang kartu berkewajiban melakukan
pelunasan kewajiban pembayaran pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus
atau secara angsuran.
Mekanisme transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu
kredit syariah sama dengan kartu kredit konvensional. Bahkan prasarana yang
digunakan untuk menjalankan transaksi kartu kredit syariah ini juga sama dengan
kartu kredit konvensional, misalnya mesin EDC, ATM, dsb. Yang membedakan dalam
kartu kredit syariah adalah akad atau perjanjian yang digunakan.
Tentunya perjanjian atau akad yang mendasari penerbitan
kartu kredit syariah ini berbeda dengan kartu kredit konvensional. Kalau dalam
kartu kredit konvensional nasabah akan dikenakan bunga yang merupakan sumber
utama pendapatan, maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak boleh dikenakan
instrumen yang berupa bunga.
Akad Kartu Kredit Syariah
Setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis akad dalam kartu kredit
syariah, yakni akad kafalah, qard danijarah. Dalam akad kafalah,
bank sebagai penerbit kartu bertindak sebagai penjamin (kafil) bagi pemegang
kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari
transaksi antara pemegang kartu dengan merchant, dan atau penarikan tunai selain
bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa
merchant bertindak sebagai pihak penerima jaminan dari bank berdasar prinsip
kafalah. Atas pemberian kafalah ini, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah)
dari pemegang kartu.
Kemudian dalam akad qard bank sebagai penerbit kartu
bertindak selaku pemberi pinjaman (muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh)
melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu. Sedangkan akad
yang lainnya adalah akad ijarah dimana penerbit kartu adalah penyedia jasa
sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas akad ijarah
ini, pemegang kartu dikenakan membership fee. Semua fee yang ditetapkan pada
kartu kredit syariah harus dinyatakan jumlahnya pada saat akad aplikasi kartu secara
jelas dan nilainya tetap, kecuali untuk merchant fee.
Dengan demikian pemegang kartu kredit syariah akan
dikenakan annual membership fee atau iuran tahunan atas dasar akad
ijarah dan juga akan dikenakan monthly membership fee atau iuran
bulanan atas dasar akad kafalah. Iuran bulanan ini nilainya tetap setiap bulan
dan nilainya didasarkan atas nilai plafond kartu kredit syariah nasabah yang
bersangkutan. Kalau di kartu kredit konvensional tidak ada iuran bulanan, Namun
nasabah akan dikenakan bunga atas setiap transaksi yang dilakukan.
Misalnya nasabah yang plafondnya Rp 10 juta dalam kartu
kredit syariah nasabah tersebut akan dikenakan iuran bulanan Rp 250 ribu. Agar
kartu kredit syariah ini tetap menarik dimata pemegang kartu maka bank akan
memberikan cash rebate atau cash reward sesuai dengan pola
transaksi yang dilakukan oleh nasabah. Sehingga jika nasabah menggunakan kartu
kredit syariah untuk pembelanjaan, maka bank akan memberikan cash rebate atau
cash reward atas dasar pola pembelanjaan dan pembayarannya. Dengan
demikian dalam kartu kredit syariah ini tidak ada instrumen bunga. Kalau dalam
kartu kredit konvensional, nasabah akan langsung dikenakan bunga yang nilainya
3-4% per bulan atas transaksi yang dilakukannya.
Dalam kartu kredit syariah, nasabah dapat melakukan
penarikan tunai melalui ATM dengan akad qard. Karena tidak menggunakan
instrument bunga, maka nasabah tidak akan dikenakan bunga, namun dikenakan fee
atas pelayanan dan penggunaan fasilitas ATM yang besarnya fee tidak dikaitkan
dengan jumlah penarikan. Nasabah yang menarik uang di ATM sebesar Rp 1 juta,
fee yang dikenakan dapat sama dengan yang narik Rp 500 ribu. Kalau di kartu
kredit konvensional, setiap penarikan di ATM akan dikenakan biaya administrasi
dan bunga sampai dengan 4% yang dihitung secara harian dari jumlah yang ditarik
di ATM.
Perbedaan lain dengan kartu kredit konvensional adalah
perlakukan pengenaan denda bagi nasabah yang mengalami keterlambatan dalam
pembayaran kartu yang jatuh tempo dan atau pemakaian kartu yang melampaui batas
limit. Jika dalam kartu kredit konvensional denda keterlambatan dapat diakui
seluruhnya sebagai sumber pendapatan bank, bahkan merupakan sumber pendapatan
yang cukup besar, maka dalam kartu kredit syariah jika nasabah dikenakan denda,
maka denda tersebut tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank, namun harus
diberlakukan sebagai dana sosial. Bank hanya boleh mengakui biaya penagihan
(ta’widh) yang nilainya sesuai dengan kerugian riil yang terjadi akibat
penagihan yang dilakukan oleh bank. Misalnya dalam penagihan, bank menghubungi
nasabah melalui telepon atau mendatanginya, maka biaya riil yang akibat
penagihan ini dapat dibebankan kepada nasabah. Teknik dalam penagihannya pun
harus memperhatikan aspek syariah, tidak boleh sama dengan kartu kredit konvensional.
Jika dalam kartu kredit konvensional tidak ada pembatasan
dalam penggunaannya asal masih dibawah plafond limitnya, nasabah boleh sesuka
hati melakukan pembelanjaan termasuk belanja barang yang non halal, seperti
minuman keras, dsb. Maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak
diperkenankan untuk melakukan transaksi yang tidak sesuai syariah. Terus
bagaimana bank bisa mengetahui atau mengontrol bahwa pemegang kartu benar-benar
melakukan transaksi yang tidak bertentangan dengan syariah, mengingat mesin
EDC-nya masih jadi satu dengan kartu kredit konvensional.
Memang untuk kartu kredit syariah idealnya kita memiliki
global provider syariah serta mempunyai mesin EDC sendiri yang ditempatkan di
merchant-merchant, sehingga penggunaan kartu kredit syariah akan benar-benar
syariah. Namun mengingat investasi yang sangat tinggi maka untuk saat ini
aturan ini akan dituangkan pada saat nasabah mengisi aplikasi kartu kredit
syariah, dimana nasabah membuat pernyataan untuk menggunakan kartu kredit untuk
transaksi yang diperbolehkan secara syariah. Jika nasabah belanja barang yang
non halal menggunakan kartu kredit, maka menjadi tanggungan pihak nasabah.
No comments:
Post a Comment